Jumat, 14 Juli 2017

Gamis VS. Batik



Lumayan fesbukan hari ini dapat quotes adem dari Cak Nun : "Kesaktian tertinggi adalah ketika anda berhasil mengolah kehidupan anda sedemikian rupa sehingga tak punya musuh, tak meransang datangnya musuh atau tidak bisa dimusuhi." Emejing! Ijin share!

Tapi setelah membaca quotes di atas, pikiranku langsung nyambung pada cuitan seorang ulama tersohor Tengku Zulkarnain (TZ) yang menyanjung-nyanjungkan jubah (gamis) dan merendahkan batik. Itu khan merangsang datangnya musuh. Karena batik adalah warisan budaya asli bangsa Indonesia. Merendahkan batik sama saja merendahkan bangsa ini.

Aku sendiri nggak terlalu suka batik dijadikan baju, kaos, sempak, apalagi sprei (nggak romantis). Tapi aku menghormati dan menghargai batik sebagai karya seni asli negeri ini. Aku suka batik jadi karya seni murni dipajang atau dijadikan kostum sebuah tarian, karnaval dan semacam itu. Sori, rokenrol nggak suka kekakuan (baju batik identik dengan resmi, kaku).

Hanya ­karena ada yang menyebut jubah sebagai daster, TZ emosi dan membalas dengan merendahkan batik, budayanya sendiri. Api dibalas dengan api, kebencian dibalas dengan kebencian. Kalau sudah begitu apa bedanya si ulama dengan di penghina tadi.

Itiba' Rasul kok nggak komperehensif. Cuman diolok-olok pakai daster saja sudah mumet ndase. Lha wong Rasulullah dikatain gila, dilempar tai onta, cuek kok.

(Sori, iki rodok ngustadz. Masio aku guduk ustadz tapi wani ngomong agama, jarno ae.)

Jarene Simbah, Jubah atau gamis itu bukan syariat, tapi itu soal cinta (pada Rasulullah). Bahkan bagiku, jenggot dan celana cingkrang pun bukan syariat. Ini soal madzhab, gak perlu dibahas, iso ngerusak seduluran. Tapi sing jelas aku menghormati pilihan orang untuk berjenggot dan bercingkrang. Sakarepmu, sing penting rukun, gak gelut.

Ngene rek, jika kamu ngefan Kurt Cobain, Jojon, Tessy, atau siapa lah, kamu akan meniru persis tongkrongannya. Nggak perduli itu pantas nggak buat gestur tubuh dan model raimu yang ndeso abis. Yang penting kamu ingin persis idolamu.

Begitu juga jika kamu ngefan Nabi Muhammad, kamu akan berpakaian (model kostumnya) persis seperti beliau walaupun itu nggak ada syariatnya. Pakai gamis, kain putih diuntel-untel di atas kepala, berjenggot panjang dan bawah tasbih kemana-mana. Itu bagus, karena itu menunjukan cintamu pada Rasulullah. Lha terus masalahe opo boss??

Masalah ketika Kecintaanmu pada jubah, gamis, daster, mbuh opo istilahe, sampai membuatmu membenci budayamu sendiri, itu gobl..eh maksudku ndeso!

Rasulullah pakai gamis, rambute diuntel-untel kain itu karena kecintaan beliau pada budayanya sendiri (budaya Arab). Dan itu juga trend fashion di Arab saat itu. Rasul memakai baju model begitu bukan karena perintah langsung dari Allah. Rasulullah mencintai dan menghormati budaya Arab, tempat dimana beliau lahir.

Jadi kalau kamu mencintai Rasulullah, meneladani beliau, cintailah negerimu dengan budayanya yang beraneka ragam. Tentu saja yang sesuai dengan syariat. Jangan sampai rasa cintamu pada jubah menjadikanmu membenci batik. Salah nggak?

Budaya orang dijunjung tinggi, budaya sendiri dimaki. Asli Jawa, lahir dan besar di Jawa tapi sama sekali tidak cinta dan tidak kenal budaya Jawa. Bagiku itu tidak meneladani Rasulullah.

Makanya aku lebih suka meneladani daripada ngefan. Kalau meneladani itu mengambil yang baik-baik saja. Kalau ngefan, semua kamu tiru sampai membuatmu tidak ingat lagi siapa dirimu, leluhurmu, budayamu. Padahal, kenali dirimu maka kau akan mengenal Tuhanmu.

Sunnah rasul yang utama itu akhlaknya, ojok dengki. Jadi bukan kostumnya, hobinya, selera makannya. Nabi suka kucing, ikut-ikutan suka kucing. Kalau ditanya kenapa suka kucing, jawabnya karena Nabi suka kucing. Oala, hidup sekali kok tidak jadi diri sendiri

Tuhan menciptakan kamu sebagai kamu, bukan orang lain. Kalau kamu jadi orang lain, kamu menyalahi Sunnatulloh, gagal identitas. Begitu juga dengan Rasulullah, beliau pakai gamis karena beliau berlaku (berpakaian) layaknya orang Arab di zaman itu.

Kalau aku sekarang pakai celana jins, itu karena aku berlaku sesuai dengan zamannya. Itulah fashion abad 21, aku tidak hidup di abad 7. Dan ojok gampang ngomong "menyerupai suatu kaum". Ingat, baju Rasulullah juga sama dengan bajunya Abu Lahab, Abu Jahal, dan orang Arab lainnya di abad 7.

Aku sendiri males pakai jarik dan blangkon, itu kostum jadul zaman sepur lempung yang hanya dipakai saat ada kegiatan budaya dalam rangka mengenang dan melestarikan budaya leluhur. Nggak cocok buat dengan keseharianku yang kerjanya nggambar, ribet boss. Makane aku saaken karo PNS sing ngantor dikongkon jarikan plus blangkonan, meksooo.

Tapi silakan saja pakai kostum sesuka hatimu. Pakai gamis nggak masalah, pakai baju batik no problem. Semua baik, nggak ada yang lebih baik. Kalau orang cinta seni dan budaya pastilah memilih batik. Apalagi gamis itu boros kain. ---Ini yang membuat saya bingung, mereka bercelana cingkrang agar nggak boros kain (takut dibilang sombong), tapi kok bergamis yang kainnya panjang sekali. Harusnya yang dihitung volume kain, bukan cingkrang atau tidaknya---

Kostum apa pun nggak masalah, asal sesuai syariat. Dan yang penting nggak lebay, salah kostum, membajak sawah pakai gamis, yo repot. Batik pun juga begitu, nggak di semua waktu cocok untuk berbatik ria. Apakah jubah lebih baik untuk shalat daripada batik? Hanya Tuhan yang berhak menilai shalatnya manusia, aku gak eruh.

Sampai sekarang aku masih heran lihat orang yang kemana-mana pakai gamis. Senam pakai gamis, demo pakai gamis, menek klopo yo nggawe gamis. Kok yo betah, sampeyan iku serius ta?

Wis ngono ae rek. Kalau diterus-teruskan aku takut tulisanku ini merangsang datangnya musuh. Semoga nggak ada yang gondok. Yang jelas mengkritisi beda dengan menghina. Ini cuman opini awut-awutan. Percoyo monggo, gak percoyo matio. Zuukk marii.

(C) Robbi Gandamana, 15 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar