Kamis, 06 Juli 2017

Konyolnya TV Lokal



Kemarin saat mudik di Malang, mumet ndasku nonton TV yang banyak sekali pilihan channelnya. Banyak sekali TV lokal baru. Sebut saja Batu TV, UB TV, Dhamma TV, CRTV, ATV, Gajayana TV, B Channel, Bios TV, Arema TV, FTV, JTV, Malang TV, Maling TV, pokoke uakeh pol. Itu belum yang TV nasional. Iku serius ta?

Ada beberapa stasiun TV yang sudah lumayan kwalitasnya, tapi ada juga yang remuk jaya. Pokoknya sekedar siaran. Ada sebuah TV yang sering menayangkan live musik band lokal, tapi yang nyanyi --ya Alloh, ampuni hambamu--nggak layak tampil, baik suara maupun manusianya, gak marketable blas. Iku konser opo latihan stress se. *trenyuh*

Tapi bagaimana pun aku cukup terhibur oleh stasiun TV konyol tadi. Karena apa pun tayangannya jadi acara lawak, membuatku pringisan dewe. Thanks a lot, you made my day!

Nggak semua TV lokal tadi mblendes. Ada satu dua acara TV lokal yang aku suka karena unik. Salah satunya adalah siaran berita tapi pakai bahasa Suroboyoan. Saat itu beritanya : "Pas riyoyo ngene iki rego daging petek mundak, mergo akeh wong sing nggawe opor.." Oala, apa kalau beli daging ayam saat lebaran itu pasti diopor. Yo onok sing digoreng, disoto, dibakar, malah onok sing dipakakno kerek barang.

Ya, semua butuh proses, bisa jadi stasiun-stasiun TV baru tadi kedepannya bakal berjaya. Namanya juga usaha, karena mendirikan stasiun TV lebih masuk akal dibandingkan dengan bikin surat kabar baru. Zaman sekarang, koran, tabloid, majalah sedang sekarat, hidup segan mati tak mau. Hanya kaum tua yang membaca koran. Kaum muda kerjanya WA-an, BBM-an, fesbukan, males baca koran. Baca berita di internet saja.

Aku sendiri sebenarnya sudah lama bercerai dengan tontonan TV. Jujur saja, aku tidak mau menghabiskan umurku melihat kepalsuan, penuh polesan, tidak ada yang indah tapi diindah-indahkan. Nggak tambah pinter, tapi malah dumber than before---Jarene Simbah, TV zaman saiki iku isine taek. Karena "kerikil" ditempatkan dimaqamnya "emas" dan sebaliknya--- Juga karena TV-ku rusak, belum sempat beli lagi, oala wedussss.

Tapi nggak papa lah sekali-kali nyambangi TV. Kalau sudah mentok bingung nggak ada kerjaan, TV pun jadi pilihan. Lumayan, dari hasil kurang kerjaan nongkrong di depan TV, aku jadi nonton film Indonesia (bukan sinetron). Sudah lama sekali aku tidak pernah nonton film Indo (karena nggak ada donlotannya, *__*). "AADC 2" pun aku nggak nonton! Tahunya film Barat, kadang juga Korea, Jepang, India, pokoknya yang recomended, sembarang gelem.

Ternyata film "Cahaya Cinta Pesantren" boleh juga. Film yang diadopsi dari novel yang ditulis oleh Ira Madan berjudul sama. Disutradarai oleh Raymond Handaya yang non muslim. Pemeran utamanya Yuki Kato yang memerankan Marshila Silalahi. Gadis Batak yang alergi Pondok Pesantren tapi harus belajar di sana karena tidak diterima di SMAN favorit, ortunya nggak mampu menyekolahkannya di SMA swasta bla bla bla bla.

Yuki Kato bermain dengan sangat meyakinkan, adorable, mbois jaya. Bagiku film ini bolehlah kalau dibandingkan dengan film Korea atau Jepang yang recomended seperti "Welcome to Dongmakgol" (2005), "Departures" (2008), "A Girl At My Door" (2014), "Umimachi Diary" (2015), "The Handmaiden" (2016) lesbian suck!, dan banyak lagi. Itu menurutku, seleraku memang ndeso.

Kalimat kunci film tersebut oke juga : “Kalau kita mencintai segala sesuatu karena Allah, maka kita tidak akan pernah kenal yang namanya kecewa atau sakit hati."

Lha kok ngomongno film se. Oke, kembali ke soal TV lokal.

Sisi baiknya, dengan adanya serbuan TV lokal, TV nasional atau yang sudah duluan ada, mau nggak mau harus meningkatkan kualitasnya kalau tidak ingin ditinggalkan pemirsa. Seperti nasib TVRI di 90an, begitu TV swasta bermunculan, TVRI pun dilupakan. Walaupun aku kadang merindukan masa kejayaan TVRI dulu, dimana nonton serial film barat yang sebenarnya biasa saja, jadi begitu sangat excited, karena kekurangan tontonan (hiburan).

Zaman sudah berubah, teknologi memudahkan kita menjadi apa pun. Beli kamera merk top markotop, bergaya fotografer, tapi hasil jepretannya garing sring. Lha wong nggak ada bakat, adanya cuman tekad. Sudah begitu berani ngeklaim diri fotografer.

Maunya serba instan. Ngakunya karya digital painting tapi ternyata hasil manipulasi photoshop. Dan dengan pede-nya ngaku seniman. Dipikirnya kalau cap seniman itu keren, kere! Tapi hebatnya banyak klien yang tertipu. Wake up Mbul, kembalilah berpijak di bumi lagi kawan, hentikan onanimu.

Revolusi informasi melanda negeri. Apa-apa digitalisasi. Harga-harga mahal tapi terbeli. Semua orang bisa bikin TV, menyampaikan berita sendiri, walau konyol yang penting hepi, walau nggak ada bakat yang penting unjuk gigi. Kalau nggak suka tinggat pencet, mati. Ndang baliyo Sri.

Tapi no problem, mari kita lanjutkan kekonyolan ini, konyol it's not a crime dan konyol itu halal!

(C) Robbi Gandamana, 6 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar