Jumat, 22 Desember 2017

Jangan Kau Usik Mereka yang Mengharamkan Ucapan Selamat Natal



Sejak merebak ajakan "Mengucapkan selamat merayakan Natal haram" order bertema natal jadi suepii pii. Seperti juga tahun ini, nggak ada satupun order karikatur buat hadiah Natal. Yo wis lah Alhamdulillah puji Tuhan.

Aku Islam rileks, jangankan bikin karikatur bertema Natal, order mendekor panggung Natal pun aku pernah dulu. Seandainya aku arsitek, aku pasti mau terima order merancang bangunan gereja. Semua tergantung pada konsep dan niat di dalam hati.

Okelah silakan saja mengharamkan ucapan selamat Natal. Tapi jangan pernyataan itu dibikin spanduk di tempat umum dan dibaca oleh yang merayakan Natal. Itu 'aurat'. Itu soal intern antar umat sepemahaman, tidak untuk diumbar-umbar ke publik yang membuat umat lain tersinggung.

Sekarang ini banyak berkembang Islam konservatif, kaku, mekengkeng. Seandainya dia punya toko bangunan, harusnya menolak jika ada seorang pendeta yang membeli semen untuk pembangunan gereja. Khan katanya itu sama saja ikut mendukung atau membenarkan ajaran Kristen, seperti mengucapkan "Selamat merayakan Natal" tadi.

Repot, kalau cara berpikirnya sempit begitu. Islam itu agama cerdas, tapi banyak yang malah menjadikannya terlihat bodoh. Konten Al Qur'an penuh dengan bahasa sastra tingkat tinggi, tapi diperlakukan kayak KUHP. Ada ayat "Bumi dihamparkan bla bla bla.." langsung diartikan bumi itu datar, karena 'dihamparkan'. Padahal kata 'dihamparkan' itu bahasa puisi, bukan bahasa hukum atau konstitusi.

Aku nggak perduli bentuk bumi itu datar atau jajaran genjang, persetan! Tapi kalau memahami bahasa seperti itu, bisa kacau memahami makna dan artinya. Makanya Gus Mus ingin Al Qur'an tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Biar makna dan arti bahasa di Al Qur'an tetap otentik. "Bahasa Arab dan Indonesia iku balungane bedo, " Kata Gus Mus.

Aku dewe yo gak paham maksude Gus Mus. Mungkin biar nanti kalau ada yang ingin memahami Al Qur'an langsung pergi ke ahlinya. Karena banyak Ustadz sekarang yang hanya hafal dalil, tapi kedalaman pemahaman bahasa Arabnya sebatas tekstual.

Seperti memahami "Malam seribu bulan" untuk Laitul Qadar di bulan Ramadhan. Kata 'seribu' di sana bukan berarti jumlahnya benar-benar seribu, bisa jadi lebih banyak. 'Seribu' itu bahasa puisi, untuk menggambarkan sesuatu yang jumlahnya buanyak sekaliii (sak sewidak jaran, sak hoha). Seperti penggalan puisi Chairil Anwar "Aku ingin hidup seribu tahun lagi.." atau lirik lagunya Godbless "Seribu rambutmu yang hitam terurai/ Seribu cemara seolah mendera.."

"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China" pun diartikan apa adanya. Itu jelas bermakna konotatif, maksudnya nggak menuntut ilmu mentok sampai di China, tapi sejauh mungkin. Bisa-bisa Nabi Muhammad turun lagi ke Bumi karena mumet lihat umatnya mengartikan ayat apa adanya. Ayatnya pun dikoreksi, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Jepang." Karena Jepang ternyata lebih maju dan canggih teknologinya dibanding China.

Ada banyak ayat lain yang diartikan apa adanya, tapi aku males nulise, cukup sak mene ae---tentu saja nggak semua ayat di Al Qur'an itu bahasa sastra, ada juga bahasa hukumnya dan bahasa-bahasa yang lain--.

Ojok ngomong sopo-sopo yo, biarkan saja mereka tetap seperti itu. Jarno ae. Biarkan mereka mengharamkan ucapan natal, mengharamkan meniup terompet tahun baru, dan lainnya. Kalau nggak begitu nggak rame. Kita jadi kekurangan hiburan. Nggak ada polemik, nggak ada berita. Rating situs Seword jadi turun.

Yang jelas, menurutku, negeri ini butuh banyak ulama seperti Gus Mus atau ulama yang berbaju budayawan--> Cak Nun. Serbuan aliran kaku ngaceng Khilafah membuat Indonesia jadi nggak adem lagi seperti dulu. Beliau-beliau itu berdakwah dengan metode yang gampang dipahami oleh muslim yang paling awam. Nggak pakai dalil, tapi yang dikemukan sebenarnya ada dalilnya.

Sunan Kalijaga dulu menyiarkan Islam melalui jalur kultural, kesenian wayang kulit. Konten cerita yang disampaikan saat mendalang penuh dengan dalil yang terdapat di Al Qur'an. Sunan Kalijaga  nggak anti Arab, hanya memudahkan dalam menyiarkan Islam.

Ulama zaman dulu tidak ingin umatnya kesulitan memahami ajaran Islam. Makanya mereka membuat kitab-kitab yang gampang dipahami (itu pun tidak berarti mudah dipahami). Lidah orang Jawa jadul susah melafalkan bahasa Arab. Melafalkan huruf 'z' jadi 'y', 'a' jadi 'nga'. Nggak masalah, karena itu kelemahan mulut, bukan karena dibuat-buat.

Syiar model Sunan Kalijaga itulah yang diteladani oleh Cak Nun. Syiar Islam dengan kelompok musik Kyai Kanjeng. Tanpa bicara dalil, tapi kalimat kalimat yang dilontarkan beliau sebenarnya ada dalilnya. Kalau mereka benar-benar penghapal hadits pasti tahu yang disampaikan Cak Nun ada ayatnya. Jadi nggak harus ngArab, "wal kodok mbadok kadal, kolu ra kolu untal....".

Wis ah, Zuukkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar