Kamis, 28 Desember 2017

Memangnya Kenapa kalau Banci jadi Imam Shalat?



Soal banci yang boleh jadi imam shalat di buku pelajaran anak SD, aku kok gak kaget yo. Karena dulu saat aku masih ingusan pernah baca di sebuah buku fiqih (lali aku judule). Sekarang kok jadi polemik. Mungkin karena buku tersebut untuk dikonsumsi anak SD yang masih polos dan ndlahom. Embuh wis, geluto kono.

Buku Pendidikan Agama Islam memang rentan jadi polemik. Harus ekstra hati-hati menulis buku seperti itu. Apalagi muslim sekarang itu rewel banget. Jenis font huruf 't' yang mirip salib pun bisa jadi masalah besar. Pernah ada yang begitu. Buku pun ditarik dari pasar, penerbitnya mumet ndase.

Aturan 'siapa yang boleh jadi imam shalat' adalah salah satu contoh detailnya aturan dalam Islam (maaf buat yang non muslim, ini bukan promosi). Aturan dibuat dengan memperhitungkan juga kemungkinan terburuknya. Jika memang keadaan saat itu hanya ada banci dan wanita, ya terpaksa si banci dijadikan imam. Karena menurutku fals kalau wanita mengimami banci. Walaupun mirip wanita, banci itu masih lelaki. Salah nggak?

Ada beda pandangan soal banci yang boleh dijadikan imam shalat (makmumnya hanya wanita). Yang pertama berpandangan bahwa banci adalah waria. Yang kedua berpendapat banci adalah orang yang berkelamin ganda. Aku lebih condong yang pertama, tapi bisa juga banci yang dimaksud itu yang berkelamin ganda campuran---kok koyok badminton yo--.

Banci memang salah kedaden (boso endonesane opo rek), tapi bukan berarti manusia banci itu otomatis salah. Artinya kita nggak punya hak menghakimi atau menghukum seseorang kalau belum melakukan perbuatan amoral. Belum berbuat kok dihukum. Itu kayak orang yang belum melakukan teror tapi sudah dilabeli teroris.

Orang dihukum karena perbuatannya, kalau cuman masih angan atau niat di dalam hati ya nggak bisa dihukum atau disalahkan.

Banci tidak memilih dilahirkan sebagai banci. Banci karena sakit psikis tidak bisa serta merta dianggap sebagai fasik (menyimpang dari ajaran agama). Banci itu sakit yang harus diobati, bukan dicaci. Selama dia sadar dengan kebanciannya, tidak 'pedang-pedangan' dengan sesama jenis, tidak menjajakan diri di depan stasiun : "Sentot massss..." (banci lagi pilek).

Jangan benci banci (sebagai manusia), benci itu pada perilakunya (yang amoral). Bencong itu kasihan. Mereka kerap jadi bahan guyonan. Karena itu banyak dari mereka yang sulit membaur di masyarakat. Dunia mereka sempit, terbatas. Jarang ada bencong jadi PNS atau kerja kantoran. Pasti lucu kalau ada banci jadi guru. "Aduhh cynn, kok rempong amir sih jadi guru kalian...ich, nakal..nakal..nakal..nakal (sambil nyentil burungnya murid lelaki)."

Kalau kita nggak punya keluasan hati, pada banci pun benci setengah mati. Padahal belum tahu dengan pasti kalau banci yang dibenci itu melakukan perbuatan amoral. Nggak semua banci hobi sodomi. Kalau kamu menuduh banci itu pasti bejat, hati-hati dengan hukum karma. Bisa-bisa anakmu terlahir banci dan jadi bahan ejekan di masyarakat.

Banci sengaja dihakikat ada oleh Tuhan agar kita bingung, mumet ndase, berdebat, bertengkar gak karu-karuan. Jadi mereka diadakan untuk menguji iman kita. Asline ngono iku, percoyo ae lah.

Ojok salah, kalau aku punya empati pada banci bukan berarti aku setuju LGBT. Sori rek, aku sama sekali nggak pro LGBT. Nggak cuman menyalahi ajaran agama, LGBT itu nggak cocok dengan adab ketimuran. LGBT itu juga menolak hukum alam, nggak Sunnatulloh. Di dalam sebuah keluarga itu adanya ayah, ibu dan anak. Bukan ayah dan ayah.

LGBT itu produk Barat buah dari terlalu memuja kebebasan. Padahal kebebasan itu ilusi. Hidup itu lebih banyak mengendalikan diri, tidak melampiaskan diri. Orang alim bilang, "Dunia adalah penjara". Kalau manusia terlalu menghamba pada kebebasan, akhirnya tidak tahu batasannya. Derajatnya pun lebih rendah dari binatang.

Nggak ada binatang yang homo. Seandainya ada itu pun karena alam yang menuntutnya begitu. Kalau pun mereka homo juga, yo wajar, namanya juga binatang!

Jaran lanang iku mesti kawine karo jaran wedok. Di dunia kuda nggak ada dikotomi cantik dan ganteng --raine jaran yo ngono iku, lanang wedok podo ae-- tapi kelamin kuda jantan nggak pernah salah lubang. Makanya nggak ada kuda yang jomblo. Kuda jantan nggak pernah pilih-pilih, kuda betina mana pun pasti yes selama ada lubangnya. Untungnya kita bukan kuda. Menikah nggak cuman soal lubang. Ayeee.

At last, silakan saja kamu mendukung LGBT, aku tetap bisa jadi temanmu. Aku bisa berteman dengan iblis, tanpa harus jadi iblis. Jika pun kau seorang Warok yang ngoleksi Gemblak, itu urusan pribadimu dengan Tuhanmu. Itu sangat personal banget. Tuhan sendiri kalau soal akidah sangat liberal (membebaskan), mau beriman silakan, mau mblalelo juga monggo. Tuhan tidak pernah rugi.

Monggo saja kamu hombreng, lesbon, sakarepmu. Tapi kalau kelakuan menyimpangmu itu dijadikan sebuah gerakan (LGBT) yang menuntut dilegalkan, sori saja Ndes, aku tidak akan mendukung gerakan itu. No fucking way!

Sori kalau tulisanku kepanjangan. Soal LGBT sikapku sangat tegas : Aku tidak akan pernah mendukung gerakan tumpak-tumpakan sesama jenis : FUCK LGBT!

-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar