Minggu, 31 Desember 2017

'Love is Love' itu Omong Kosong



Seperti yang saya tulis kemarin, saya tidak mendukung gerakan elgebete, tapi saya bukan homophobia. Saya hanya tidak mendukung gerakan yang menuntut legalisasi perkawinan sesama jenis. Jadi bukan benci pada manusianya.
Saya bisa berteman dengan siapa saja, asal jangan paksa saya setuju, membenarkan, mendukung gerakan legalisasi seks menyimpang itu. Mereka orang 'sakit' yang harusnya diobati, bukan dicaci.
Paham yo, statement di atas mungkin akan tetap saya tulis ulang di tulisan berikutnya, karena nggak semua orang mengikuti tulisanku di awal kemarin. Biar nggak salah paham.
Saya adalah penggemar berat musisi rock macam Freddie Mercury atau Rob Halford. Tapi bukan berarti saya setuju atau mendukung kehomoan mereka. Enggak lah. Saya hanya salut pada karya musiknya, sekaligus kagum dengan karunia Tuhan yang diberikan padanya, bakat yang tidak semua orang dapat.
Saya hanya ngambil kulit luarnya, semangatnya saja untuk sekedar senang-senang atau sangar-sangaran. Sama kayak orang yang ngefan berat Akhmad Dhani sebagai musisi, tapi benci setengah mati dengan statement politiknya.
Oke, masuk ke bahasan utama..
Di dunia Barat, cinta sudah kehilangan makna. Di sana cinta dan nafsu itu sebelas duabelas alias nggak ada beda. Kalau sudah jatuh cinta, harus ada ngeseks-nya. Jadi jangan terkecoh dengan definisi 'love' orang Barat. Love di sana itu orientasinya seks.
Definisi 'making love' itu bukan bercinta, tapi ngeseks. Sedangkan di sini bercinta itu bukan persetubuhan, tapi sebuah interaksi sosial yang melibatkan cinta, baik cinta antar pria dan wanita maupun cinta yang universal. Kita ngobrol dengan siapapun dengan penuh cinta (universal) itu sudah bisa disebut bercinta.
Jadi, jargon "love is love" yang digembar-gemborkan oleh elgebete itu sebenarnya "sex is sex". Menghalalkan ngeseks dengan siapa pun dan apa pun. Judul lagunya Brian May "Too Much Love Will Kill You" yang dipersembahkan untuk Freddie Mercury yang tewas karena Aids, itu sebenarnya salah. Yang benar adalah "Too Much Sex Will Kill You". Karena bagiku malah bagus kalau 'too much love'.
Semakin banyak cinta semakin hidup jadi lebih hidup, tidak akan membunuhmu. Tapi kalau semakin banyak ngeseks, dengkulmu kopong. Kena sipilis, peline krowak pucuke.
Cinta kita kepada manusia (atau apa pun) itu harusnya di dalam cinta kita kepada Tuhan. Tapi kaum yang kawin dengan sesama jenis itu telah 'membunuh' Tuhan di dalam hati mereka. Mereka percaya Tuhan, tapi melakukan sesuatu yang dibenciNya. Tuhan mana yang membolehkan perkawinan sejenis. Ajaran Yesus, ajaran Muhammad, ajaran Budha, ajaran agama mana pun melarang itu. Kalau ada, itu pasti ajaran Mbokneancok.
Jadi, bagiku gerakan legalisasi perkawinan sejenis itu sama saja gerakan melawan Tuhan. Makanya kemarin aku bilang kalau mereka itu sebenarnya nggak berTuhan, walaupun beragama. Dan nggak cuman melawan Tuhan, tapi juga melawan alam. Perkawinan sesama jenis itu menyalahi kodrat alam. Jangan heran kalau alam ngamuk. Belajarlah pada kaumnya Nabi Luth atau penduduk Pompei di Itali. Sudah aku tulis kemarin. Jangan dipikir benda mati itu mati.
Yang saya bahas ini nggak ilmiah banget, ini soal keyakinan agama. Agama itu soal ghaib. Dan saya tidak sedang bicara soal ilmiah. Ilmiah opo, ilmiah ndasmu. Lha lapo ilmiah. Membahas penolakan gerakan legalisasi perkawinan sejenis nggak pakai ilmiah-ilmiahan pun bisa. Pakai akal dan logika saja cukup.
Apa pun bahasannya, pasti akan kembali ke soal agama. Gerakan elgebete itu eksis karena tidak menjadikan agama sebagai prioritas utama. Jadi nggak papa kalau tiap hari ngomong agama. Itu pertanda bahwa agama masih jadi prioritas utama di hidup kita. Yang nggak asyik itu demo-demo berkepanjangan bikin macet, ruwet, ekonomi cupet.
Saya bukan orang ilmiah, gak intelek blas. Persetan dengan universitas! Semua universitas itu ateis. Mereka hanya mau mengakui sesuatu yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Tuhan nggak bisa dibuktikan secara ilmiah. Kita percaya Tuhan ada karena tanda-tanda keberaadaanNya. Pecah ndasmu kalau kamu nekad meneliti Tuhan, wujudnya bagaimana, tidurnya dimana, lanang opo wedok.
Kurt Cobain bilang "God is gay" itu ngawur. Istilah 'gay' itu untuk makhluk. Tuhan bukan makhluk, embuh opo aku gak eruh. Mungkin yang dimaksud Kurt itu Tuhan nggak bergender, cuman Kurt salah memilih kata.
Soal benda mati yang sebenarnya nggak mati, bacalah kisah perang Uhud (kalau anda Muslim). Saat itu Nabi Muhammad terkena panah di lehernya dan berlindung di gunung Uhud. Saat itulah gunung Uhud marah pada pasukan musuh dan minta ijin pada Muhammad untuk membantai habis musuh dengan menjatuhkan batu-batunya. Tapi Nabi Muhammad mencegahnya karena beliau masih berharap di antara mereka selamat dan memiliki keturunan yang beriman.
Jadi, gunung pun bisa marah melihat kelakuan manusia, itu kalau kamu percaya agama. Kondisi alam Sodom dan Gomora, juga di Pompei Itali sangat rentan bencana. Begitu manusianya tidak menjaga keseimbangan alam, langsung digulung, dikubur hidup-hidup. Rasakno le.
Nggak cuman Tuhan yang eneg lihat manusia tusbol berjamaah, alam pun muak. Tuhan mungkin masih bisa ngempet nahan marah, karena cintaNya mendahului murkaNya. Tapi alam nggak bisa. Gunung, laut, hutan, itu semua bala tentara Tuhan. Kalau kita terus-terusan melawan kodrat alam, tidak menjaga keseimbangan, jangan mewek kalau bencana terus terjadi.
Sementara ini dulu, sesuk maneh.
-Robbi Gandamana-
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar