Minggu, 31 Desember 2017

'Love is Love' itu Omong Kosong



Seperti yang saya tulis kemarin, saya tidak mendukung gerakan elgebete, tapi saya bukan homophobia. Saya hanya tidak mendukung gerakan yang menuntut legalisasi perkawinan sesama jenis. Jadi bukan benci pada manusianya.
Saya bisa berteman dengan siapa saja, asal jangan paksa saya setuju, membenarkan, mendukung gerakan legalisasi seks menyimpang itu. Mereka orang 'sakit' yang harusnya diobati, bukan dicaci.
Paham yo, statement di atas mungkin akan tetap saya tulis ulang di tulisan berikutnya, karena nggak semua orang mengikuti tulisanku di awal kemarin. Biar nggak salah paham.
Saya adalah penggemar berat musisi rock macam Freddie Mercury atau Rob Halford. Tapi bukan berarti saya setuju atau mendukung kehomoan mereka. Enggak lah. Saya hanya salut pada karya musiknya, sekaligus kagum dengan karunia Tuhan yang diberikan padanya, bakat yang tidak semua orang dapat.
Saya hanya ngambil kulit luarnya, semangatnya saja untuk sekedar senang-senang atau sangar-sangaran. Sama kayak orang yang ngefan berat Akhmad Dhani sebagai musisi, tapi benci setengah mati dengan statement politiknya.
Oke, masuk ke bahasan utama..
Di dunia Barat, cinta sudah kehilangan makna. Di sana cinta dan nafsu itu sebelas duabelas alias nggak ada beda. Kalau sudah jatuh cinta, harus ada ngeseks-nya. Jadi jangan terkecoh dengan definisi 'love' orang Barat. Love di sana itu orientasinya seks.
Definisi 'making love' itu bukan bercinta, tapi ngeseks. Sedangkan di sini bercinta itu bukan persetubuhan, tapi sebuah interaksi sosial yang melibatkan cinta, baik cinta antar pria dan wanita maupun cinta yang universal. Kita ngobrol dengan siapapun dengan penuh cinta (universal) itu sudah bisa disebut bercinta.
Jadi, jargon "love is love" yang digembar-gemborkan oleh elgebete itu sebenarnya "sex is sex". Menghalalkan ngeseks dengan siapa pun dan apa pun. Judul lagunya Brian May "Too Much Love Will Kill You" yang dipersembahkan untuk Freddie Mercury yang tewas karena Aids, itu sebenarnya salah. Yang benar adalah "Too Much Sex Will Kill You". Karena bagiku malah bagus kalau 'too much love'.
Semakin banyak cinta semakin hidup jadi lebih hidup, tidak akan membunuhmu. Tapi kalau semakin banyak ngeseks, dengkulmu kopong. Kena sipilis, peline krowak pucuke.
Cinta kita kepada manusia (atau apa pun) itu harusnya di dalam cinta kita kepada Tuhan. Tapi kaum yang kawin dengan sesama jenis itu telah 'membunuh' Tuhan di dalam hati mereka. Mereka percaya Tuhan, tapi melakukan sesuatu yang dibenciNya. Tuhan mana yang membolehkan perkawinan sejenis. Ajaran Yesus, ajaran Muhammad, ajaran Budha, ajaran agama mana pun melarang itu. Kalau ada, itu pasti ajaran Mbokneancok.
Jadi, bagiku gerakan legalisasi perkawinan sejenis itu sama saja gerakan melawan Tuhan. Makanya kemarin aku bilang kalau mereka itu sebenarnya nggak berTuhan, walaupun beragama. Dan nggak cuman melawan Tuhan, tapi juga melawan alam. Perkawinan sesama jenis itu menyalahi kodrat alam. Jangan heran kalau alam ngamuk. Belajarlah pada kaumnya Nabi Luth atau penduduk Pompei di Itali. Sudah aku tulis kemarin. Jangan dipikir benda mati itu mati.
Yang saya bahas ini nggak ilmiah banget, ini soal keyakinan agama. Agama itu soal ghaib. Dan saya tidak sedang bicara soal ilmiah. Ilmiah opo, ilmiah ndasmu. Lha lapo ilmiah. Membahas penolakan gerakan legalisasi perkawinan sejenis nggak pakai ilmiah-ilmiahan pun bisa. Pakai akal dan logika saja cukup.
Apa pun bahasannya, pasti akan kembali ke soal agama. Gerakan elgebete itu eksis karena tidak menjadikan agama sebagai prioritas utama. Jadi nggak papa kalau tiap hari ngomong agama. Itu pertanda bahwa agama masih jadi prioritas utama di hidup kita. Yang nggak asyik itu demo-demo berkepanjangan bikin macet, ruwet, ekonomi cupet.
Saya bukan orang ilmiah, gak intelek blas. Persetan dengan universitas! Semua universitas itu ateis. Mereka hanya mau mengakui sesuatu yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Tuhan nggak bisa dibuktikan secara ilmiah. Kita percaya Tuhan ada karena tanda-tanda keberaadaanNya. Pecah ndasmu kalau kamu nekad meneliti Tuhan, wujudnya bagaimana, tidurnya dimana, lanang opo wedok.
Kurt Cobain bilang "God is gay" itu ngawur. Istilah 'gay' itu untuk makhluk. Tuhan bukan makhluk, embuh opo aku gak eruh. Mungkin yang dimaksud Kurt itu Tuhan nggak bergender, cuman Kurt salah memilih kata.
Soal benda mati yang sebenarnya nggak mati, bacalah kisah perang Uhud (kalau anda Muslim). Saat itu Nabi Muhammad terkena panah di lehernya dan berlindung di gunung Uhud. Saat itulah gunung Uhud marah pada pasukan musuh dan minta ijin pada Muhammad untuk membantai habis musuh dengan menjatuhkan batu-batunya. Tapi Nabi Muhammad mencegahnya karena beliau masih berharap di antara mereka selamat dan memiliki keturunan yang beriman.
Jadi, gunung pun bisa marah melihat kelakuan manusia, itu kalau kamu percaya agama. Kondisi alam Sodom dan Gomora, juga di Pompei Itali sangat rentan bencana. Begitu manusianya tidak menjaga keseimbangan alam, langsung digulung, dikubur hidup-hidup. Rasakno le.
Nggak cuman Tuhan yang eneg lihat manusia tusbol berjamaah, alam pun muak. Tuhan mungkin masih bisa ngempet nahan marah, karena cintaNya mendahului murkaNya. Tapi alam nggak bisa. Gunung, laut, hutan, itu semua bala tentara Tuhan. Kalau kita terus-terusan melawan kodrat alam, tidak menjaga keseimbangan, jangan mewek kalau bencana terus terjadi.
Sementara ini dulu, sesuk maneh.
-Robbi Gandamana-
-Robbi Gandamana-

Jumat, 29 Desember 2017

Ajaran Kasih itu Mengasihi Manusianya, bukan Membenarkan Kesalahannya (Soal LGBT)



Melanjutkan postingan kemarin..soal LGBT. Penting pol iki.

Begini, salah satu yang membuat manusia bisa selamat di dunia maupun akhirat itu karena belajar dari kesalahan. Baik kesalahan sendiri maupun kesalahan orang lain.

Kaumnya Nabi Luth di Sodom dan Gomora diazab sangat pedih, dikubur hidup-hidup dalam sebuah gempa bumi yang dahsyat jaya karena tusbol berjamaah. Dan kamu sekarang dengan pede-nya mendukung (membenarkan) sepenuh hati 'reinkarnasi' kaumnya Nabi Luth itu.

What the fuck with you guys!?

Kalau kamu ateis, kisah Sodom dan Gomora pasti kau anggap dongeng belaka. Sekarang tengok kisah penduduk Pompei di Itali, surga dunia bagi mereka yang  melegalkan seks menyimpang.  Dengan sekejapan mata mereka terkubur hidup-hidup oleh letusan Gunung Vesuvius. Mayat mereka yang berlapis lava masih utuh dalam posisi sedang melakukan semacam 'the bussines of love'.

Mayat-mayat mereka sengaja dibuat utuh agar dijadikan peringatan buat kita. Kalau ingin selamat dunia akhirat jagalah kelaminmu. Tidak ada satu pun agama yang membenarkan perkawinan sesama jenis. Tanyakan pada Ustadz, Pastur, Biksu, Shaolin..semua tukang ceramah itu, mereka nggak akan pernah membenarkan itu. Kalau ada, pasti sekuler!

Jangan salah paham, saya nggak mendukung gerakannya tapi tidak membenci manusianya. LGBT itu gerakan yang menuntut legalisasi perkawinan sejenis. Sedangkan hombreng, lesbon, waria itu manusianya. Itu lain perkara. Jadi, saya bukan Homophobia. Saya bisa berteman dengan siapa saja. Kalau gerakan "No bully for bencong" pasti aku dukung.

Karena bencong sakit yang harus diobati, bukan dibully. Dan nggak semua bencong itu bejat!.

Lupakan soal teori 5 jenis kelamin fucking shit, data ilmiah soal perkelaminan, omong kosong soal hak asasi. Hak asasi manusia itu bullshit. Hanya Tuhan yang punya hak. Manusia hanya punya kewajiban. Satu-satunya hak manusia adalah memilih pemimpin. Selain itu nggak ada hak. Manusia punya hak karena kontribusinya pada masyarakat. Kalau nggak pernah berkontribusi atau nggak punya saham, dia nggak berhak menuntut apa-apa.

Hak asasi itu benar-benar menenggelamkan akal dan iman manusia. Atas nama hak asasi, manusia dilegalkan kawin sesama jenis, bahkan kalau bisa dilegalkan kawin sama kambing. Kiss my ass!

Jadi, Hak Asasi Manusia itu bisa sangat menyesatkan. Karena yang pasti betul adalah Wajib Asasi Manusia.

Banyak dari mereka yang mendukung LGBT karena ajaran kasih. Ajaran kasih itu bagus. Semua agama mengajarkan kasih sayang. Tapi jangan salah kaprah. Ajaran kasih itu mengasihi manusianya, bukan membenarkan kesalahannya. Bagaimana bisa kalian mendukung gerakan LGBT yang melegalkan perkawinan sesama jenis, sedangan kalian tahu sendiri tusbol dengan sesama jenis itu jahannam.

Seorang pengacara mendampingi koruptor itu dalam rangka menemani hatinya dan mencari hal yang bisa meringankan hukumannya. Itu ajaran kasih. Bukan mencari-cari alibi agar si koruptor terbebas dari hukuman. Itu namanya pengacara bajingan.

Is that clear!?

Ada yang bertanya padaku, "Gay juga membutuhkan kebutuhan batin (kentu), jadi bagaimana kita tega melarang mereka memenuhi kebutuhan itu?"

Well, ada saatnya agama itu sangat konservatif, kaku. Kalau aturannya begini ya jangan begitu. Kalau agama melarang tusbol sesama jenis, ya jangan pernah lakukan itu. Jadikan itu perjuanganmu. Manusia jadi hebat itu salah satunya karena bisa mengendalikan keinginan yang amat sangat. Kalau memang nggak bisa nahan, masih ada fenomena aseksual atau solo seks bin onani. Kalau memang itu benteng pertahanan terakhirmu, yo wis lah.

Tugas manusia itu cuman mengingatkan, mengajak kepada kebaikan. Manusia tidak berhak memerintah orang lain untuk jadi alim. Kalau tetap mbalelo ya kita kembalikan urusan itu ke Tuhan.

Kehidupan seks seseorang itu urusan pribadi dia dengan Tuhannya. Lha lapo aku ngurusi raimu. Sama-sama dewasa, sudah sama-sama paham soal hitam dan putihnya kehidupan.

Jadi aku nggak perduli jika pun mereka  kawin sama kambing. Tapi kalau aku disuruh mendukung GERAKAN yang melegalkan itu, sorry my man, no fucking way!

LBGT said : "I'm gay, I'm lesbian, I'm bisexual, I'm transgender, I'm like you, I'm human."
I said : "No dude! I'm not like you..cos, I have God and you don't!"
Karena Tuhan melarang manusia melakukan hubungan sesama jenis, kecuali mereka bertuhan pada nafsu.

Bersambung....

-Robbi Gandamana-

Kamis, 28 Desember 2017

Memangnya Kenapa kalau Banci jadi Imam Shalat?



Soal banci yang boleh jadi imam shalat di buku pelajaran anak SD, aku kok gak kaget yo. Karena dulu saat aku masih ingusan pernah baca di sebuah buku fiqih (lali aku judule). Sekarang kok jadi polemik. Mungkin karena buku tersebut untuk dikonsumsi anak SD yang masih polos dan ndlahom. Embuh wis, geluto kono.

Buku Pendidikan Agama Islam memang rentan jadi polemik. Harus ekstra hati-hati menulis buku seperti itu. Apalagi muslim sekarang itu rewel banget. Jenis font huruf 't' yang mirip salib pun bisa jadi masalah besar. Pernah ada yang begitu. Buku pun ditarik dari pasar, penerbitnya mumet ndase.

Aturan 'siapa yang boleh jadi imam shalat' adalah salah satu contoh detailnya aturan dalam Islam (maaf buat yang non muslim, ini bukan promosi). Aturan dibuat dengan memperhitungkan juga kemungkinan terburuknya. Jika memang keadaan saat itu hanya ada banci dan wanita, ya terpaksa si banci dijadikan imam. Karena menurutku fals kalau wanita mengimami banci. Walaupun mirip wanita, banci itu masih lelaki. Salah nggak?

Ada beda pandangan soal banci yang boleh dijadikan imam shalat (makmumnya hanya wanita). Yang pertama berpandangan bahwa banci adalah waria. Yang kedua berpendapat banci adalah orang yang berkelamin ganda. Aku lebih condong yang pertama, tapi bisa juga banci yang dimaksud itu yang berkelamin ganda campuran---kok koyok badminton yo--.

Banci memang salah kedaden (boso endonesane opo rek), tapi bukan berarti manusia banci itu otomatis salah. Artinya kita nggak punya hak menghakimi atau menghukum seseorang kalau belum melakukan perbuatan amoral. Belum berbuat kok dihukum. Itu kayak orang yang belum melakukan teror tapi sudah dilabeli teroris.

Orang dihukum karena perbuatannya, kalau cuman masih angan atau niat di dalam hati ya nggak bisa dihukum atau disalahkan.

Banci tidak memilih dilahirkan sebagai banci. Banci karena sakit psikis tidak bisa serta merta dianggap sebagai fasik (menyimpang dari ajaran agama). Banci itu sakit yang harus diobati, bukan dicaci. Selama dia sadar dengan kebanciannya, tidak 'pedang-pedangan' dengan sesama jenis, tidak menjajakan diri di depan stasiun : "Sentot massss..." (banci lagi pilek).

Jangan benci banci (sebagai manusia), benci itu pada perilakunya (yang amoral). Bencong itu kasihan. Mereka kerap jadi bahan guyonan. Karena itu banyak dari mereka yang sulit membaur di masyarakat. Dunia mereka sempit, terbatas. Jarang ada bencong jadi PNS atau kerja kantoran. Pasti lucu kalau ada banci jadi guru. "Aduhh cynn, kok rempong amir sih jadi guru kalian...ich, nakal..nakal..nakal..nakal (sambil nyentil burungnya murid lelaki)."

Kalau kita nggak punya keluasan hati, pada banci pun benci setengah mati. Padahal belum tahu dengan pasti kalau banci yang dibenci itu melakukan perbuatan amoral. Nggak semua banci hobi sodomi. Kalau kamu menuduh banci itu pasti bejat, hati-hati dengan hukum karma. Bisa-bisa anakmu terlahir banci dan jadi bahan ejekan di masyarakat.

Banci sengaja dihakikat ada oleh Tuhan agar kita bingung, mumet ndase, berdebat, bertengkar gak karu-karuan. Jadi mereka diadakan untuk menguji iman kita. Asline ngono iku, percoyo ae lah.

Ojok salah, kalau aku punya empati pada banci bukan berarti aku setuju LGBT. Sori rek, aku sama sekali nggak pro LGBT. Nggak cuman menyalahi ajaran agama, LGBT itu nggak cocok dengan adab ketimuran. LGBT itu juga menolak hukum alam, nggak Sunnatulloh. Di dalam sebuah keluarga itu adanya ayah, ibu dan anak. Bukan ayah dan ayah.

LGBT itu produk Barat buah dari terlalu memuja kebebasan. Padahal kebebasan itu ilusi. Hidup itu lebih banyak mengendalikan diri, tidak melampiaskan diri. Orang alim bilang, "Dunia adalah penjara". Kalau manusia terlalu menghamba pada kebebasan, akhirnya tidak tahu batasannya. Derajatnya pun lebih rendah dari binatang.

Nggak ada binatang yang homo. Seandainya ada itu pun karena alam yang menuntutnya begitu. Kalau pun mereka homo juga, yo wajar, namanya juga binatang!

Jaran lanang iku mesti kawine karo jaran wedok. Di dunia kuda nggak ada dikotomi cantik dan ganteng --raine jaran yo ngono iku, lanang wedok podo ae-- tapi kelamin kuda jantan nggak pernah salah lubang. Makanya nggak ada kuda yang jomblo. Kuda jantan nggak pernah pilih-pilih, kuda betina mana pun pasti yes selama ada lubangnya. Untungnya kita bukan kuda. Menikah nggak cuman soal lubang. Ayeee.

At last, silakan saja kamu mendukung LGBT, aku tetap bisa jadi temanmu. Aku bisa berteman dengan iblis, tanpa harus jadi iblis. Jika pun kau seorang Warok yang ngoleksi Gemblak, itu urusan pribadimu dengan Tuhanmu. Itu sangat personal banget. Tuhan sendiri kalau soal akidah sangat liberal (membebaskan), mau beriman silakan, mau mblalelo juga monggo. Tuhan tidak pernah rugi.

Monggo saja kamu hombreng, lesbon, sakarepmu. Tapi kalau kelakuan menyimpangmu itu dijadikan sebuah gerakan (LGBT) yang menuntut dilegalkan, sori saja Ndes, aku tidak akan mendukung gerakan itu. No fucking way!

Sori kalau tulisanku kepanjangan. Soal LGBT sikapku sangat tegas : Aku tidak akan pernah mendukung gerakan tumpak-tumpakan sesama jenis : FUCK LGBT!

-Robbi Gandamana-

Antara Logika Syariat dan Logika Hakikat



Saya selalu berusahaee", "baiklah", "boleehh", "masuukk", "zuukkk", dan "sipss keras menghindari perdebatan. Sama-sama ndlahom kok berdebat. Makanya komen di statusku kubalas dengan singkat, "aye". Tapi kadang ada saatnya imanku nggak kuat juga, akhirnya terjerumus dalam debat ndlahom.

Debat tanpa pemahaman ilmu tidak akan menjadikan kita tambah cerdas. Yang terjadi malah permusuhan atau hubungan pertemanan jadi rusak. Sudah pekok, kere, nggak akur. Perfect.

Apalagi kalau berdebat dengan orang yang logikanya syariat. Jadi pekok berjamaah. Karena nggak akan pernah ada titik temunya. Pekok bersatu.
Logika syariat dan logika hakikat itu sulit dipadukan. Salah satu contoh orang yang logikanya syariat itu bila dikasih pertanyaan kenapa Nabi Adam diturunkan ke Bumi? Kalau orang dengan logika syariat akan menjawab karena Adam telah memakan buah Kuldi.

Beda kalau pemahamannya hakikat, jawabannya akan begini : Tujuan Tuhan menciptakan Adam memang untuk ditempatkan di Bumi. Makan atau tidak makan buah Kuldi, Nabi Adam pasti diturunkan ke Bumi. Buah Kuldi itu bukan buah terlarang. Nggak ada larangan di surga. Adam dilarang makan Kuldi karena anak kemaren sore, belum dibolehkan makan buah itu.

Jadi, diturunkan di Bumi itu bukan hukuman. Hukuman yang sebenarnya adalah Nabi Adam dipisahkan dengan Hawa di Bumi. Adam diturunkan di sana dan Hawa di sono. Selama 40 tahun (ada yang bilang 300 tahun, juga 500 tahun) mereka saling mencari satu sama lain yang akhirnya bertemu di Arab.

---Btw, soal Adam dan Hawa jangan terlalu diambil hati, karena memang drama-nya seperti itu. Iblis memang sengaja dijadikan antagonis. Iblis adalah mantan malaikat (ada yang bilang jin) yang paling cerdas dan bijak. Hanya dia yang rela dikutuk-kutuk dan dijadikan simbol negatif dalam kehidupan ini. Jadi, biasa ae lah. Sing penting jangan tergoda rayuanya. Panjang kalau diulas, paling awakmu yo gak paham--

Ciri-ciri yang menyolok dari orang yang logikanya syariat adalah kaku, saklek. Mereka tidak memandang suatu persoalan secara menyeluruh, luas dan luwes. Tidak punya akar nilai. Seperti kemaren yang bilang merayakan Ultah itu haram karena 'menyerupai suatu kaum' (maksudnya kaum kafir), dan diancam "Jahannam!"

Padahal sekarang ini tidak bisa kalau tidak menyerupai suatu kaum. Bagaimana tidak menyerupai suatu kaum lha wong pagi-pagi sudah fesbukan, twiteran buatan Amrik. Jadi nggak serta merta merayakan ultah itu 'menyerupai suatu kaum'. Menyerupai ndasmu.

Repot kalau dikit-dikit 'menyerupai suatu kaum'. Kalau begitu jangan nabung di bank, karena bank itu pertama kali diberlakukan oleh kaum Yahudi. Jangan bepergian naik pesawat, karena pesawat terbang pertama kali ditemukan oleh orang Amrik. Jangan be'ol pakai toilet duduk, karena toilet duduk itu gaya Barat. Dan banyak lagi.

Jadi kalau ada yang bilang merayakan Ultah atau memperingati Hari Ibu itu haram, itu logikanya syariat. Semua perayaan itu ibadah Muamallah, hukumnya mubah! Yang haram itu foya-foya, mabuk-mabukan, dan semua yang berlebihan dan maksyiat. Kalau cuman nyanyi-nyanyi, meniup lilin, makan-makan ya monggo saja. Malah jadi berpahala. Menyenangkan orang kok nggak boleh.

Kasihan temanku yang kulitnya hitam, gembrot, wetenge mblendung, dan bau keringetnya buadek. Dia pasti akan dimasukan ke dalam golongan Buto karena menyerupai Gendruwo.

Zaman sekarang Tuhan dikenalkan sebagai makhluk yang sadis, pembunuh berantai. Sedikit-sedikit diancam neraka. Akhirnya banyak orang yang ibadah karena takut neraka (dan berharap imbalan surga). Padahal ibadah harusnya karena bersyukur, bukan karena kebelet surga dan takut neraka. Masuk surga itu juga karena rahmat Tuhan, bukan karena ibadah semata.

Kalau masuk surga karena amalan, kamu pasti kalah sama bossmu. Lha wong bossmu tiap sedekah jumlahnya tiga kali lipat gajimu yang UMR itu. Apesnya, uang sedekah bossmu itu hasil dari memeras keringatmu. Tanggal merah tetap masuk kerja, wajib lembur. Seandainya kiamat diumumkan, pasti akan tetap disuruh masuk kerja, dihitung lembur. Mamfuss.

Tuhan adalah cinta yang meraja. RahmatNya mendahului murkaNya. Segala penciptaan di dunia berawal dari cintaNya, karena Tuhan ingin bermesraan dengan hamba-hambaNya. Apa yang kita alami di dunia ini adalah proses percintaan kita denganNya. Karena itulah Tuhan Maha Pengampun. Kesalahan sebesar gunung pun akan diampuni kalau memang benar-benar tobat. Malah Tuhan bingung kalau manusia tidak pernah salah, Dia tidak bisa menjalankan sifatNya yang Maha Pengampun.

Ya sudah gitu saja, bahasannya sudah mulai ngelantur.

Zuukkk.

*Pekok = blo'on.

Jumat, 22 Desember 2017

Jangan Kau Usik Mereka yang Mengharamkan Ucapan Selamat Natal



Sejak merebak ajakan "Mengucapkan selamat merayakan Natal haram" order bertema natal jadi suepii pii. Seperti juga tahun ini, nggak ada satupun order karikatur buat hadiah Natal. Yo wis lah Alhamdulillah puji Tuhan.

Aku Islam rileks, jangankan bikin karikatur bertema Natal, order mendekor panggung Natal pun aku pernah dulu. Seandainya aku arsitek, aku pasti mau terima order merancang bangunan gereja. Semua tergantung pada konsep dan niat di dalam hati.

Okelah silakan saja mengharamkan ucapan selamat Natal. Tapi jangan pernyataan itu dibikin spanduk di tempat umum dan dibaca oleh yang merayakan Natal. Itu 'aurat'. Itu soal intern antar umat sepemahaman, tidak untuk diumbar-umbar ke publik yang membuat umat lain tersinggung.

Sekarang ini banyak berkembang Islam konservatif, kaku, mekengkeng. Seandainya dia punya toko bangunan, harusnya menolak jika ada seorang pendeta yang membeli semen untuk pembangunan gereja. Khan katanya itu sama saja ikut mendukung atau membenarkan ajaran Kristen, seperti mengucapkan "Selamat merayakan Natal" tadi.

Repot, kalau cara berpikirnya sempit begitu. Islam itu agama cerdas, tapi banyak yang malah menjadikannya terlihat bodoh. Konten Al Qur'an penuh dengan bahasa sastra tingkat tinggi, tapi diperlakukan kayak KUHP. Ada ayat "Bumi dihamparkan bla bla bla.." langsung diartikan bumi itu datar, karena 'dihamparkan'. Padahal kata 'dihamparkan' itu bahasa puisi, bukan bahasa hukum atau konstitusi.

Aku nggak perduli bentuk bumi itu datar atau jajaran genjang, persetan! Tapi kalau memahami bahasa seperti itu, bisa kacau memahami makna dan artinya. Makanya Gus Mus ingin Al Qur'an tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Biar makna dan arti bahasa di Al Qur'an tetap otentik. "Bahasa Arab dan Indonesia iku balungane bedo, " Kata Gus Mus.

Aku dewe yo gak paham maksude Gus Mus. Mungkin biar nanti kalau ada yang ingin memahami Al Qur'an langsung pergi ke ahlinya. Karena banyak Ustadz sekarang yang hanya hafal dalil, tapi kedalaman pemahaman bahasa Arabnya sebatas tekstual.

Seperti memahami "Malam seribu bulan" untuk Laitul Qadar di bulan Ramadhan. Kata 'seribu' di sana bukan berarti jumlahnya benar-benar seribu, bisa jadi lebih banyak. 'Seribu' itu bahasa puisi, untuk menggambarkan sesuatu yang jumlahnya buanyak sekaliii (sak sewidak jaran, sak hoha). Seperti penggalan puisi Chairil Anwar "Aku ingin hidup seribu tahun lagi.." atau lirik lagunya Godbless "Seribu rambutmu yang hitam terurai/ Seribu cemara seolah mendera.."

"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China" pun diartikan apa adanya. Itu jelas bermakna konotatif, maksudnya nggak menuntut ilmu mentok sampai di China, tapi sejauh mungkin. Bisa-bisa Nabi Muhammad turun lagi ke Bumi karena mumet lihat umatnya mengartikan ayat apa adanya. Ayatnya pun dikoreksi, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Jepang." Karena Jepang ternyata lebih maju dan canggih teknologinya dibanding China.

Ada banyak ayat lain yang diartikan apa adanya, tapi aku males nulise, cukup sak mene ae---tentu saja nggak semua ayat di Al Qur'an itu bahasa sastra, ada juga bahasa hukumnya dan bahasa-bahasa yang lain--.

Ojok ngomong sopo-sopo yo, biarkan saja mereka tetap seperti itu. Jarno ae. Biarkan mereka mengharamkan ucapan natal, mengharamkan meniup terompet tahun baru, dan lainnya. Kalau nggak begitu nggak rame. Kita jadi kekurangan hiburan. Nggak ada polemik, nggak ada berita. Rating situs Seword jadi turun.

Yang jelas, menurutku, negeri ini butuh banyak ulama seperti Gus Mus atau ulama yang berbaju budayawan--> Cak Nun. Serbuan aliran kaku ngaceng Khilafah membuat Indonesia jadi nggak adem lagi seperti dulu. Beliau-beliau itu berdakwah dengan metode yang gampang dipahami oleh muslim yang paling awam. Nggak pakai dalil, tapi yang dikemukan sebenarnya ada dalilnya.

Sunan Kalijaga dulu menyiarkan Islam melalui jalur kultural, kesenian wayang kulit. Konten cerita yang disampaikan saat mendalang penuh dengan dalil yang terdapat di Al Qur'an. Sunan Kalijaga  nggak anti Arab, hanya memudahkan dalam menyiarkan Islam.

Ulama zaman dulu tidak ingin umatnya kesulitan memahami ajaran Islam. Makanya mereka membuat kitab-kitab yang gampang dipahami (itu pun tidak berarti mudah dipahami). Lidah orang Jawa jadul susah melafalkan bahasa Arab. Melafalkan huruf 'z' jadi 'y', 'a' jadi 'nga'. Nggak masalah, karena itu kelemahan mulut, bukan karena dibuat-buat.

Syiar model Sunan Kalijaga itulah yang diteladani oleh Cak Nun. Syiar Islam dengan kelompok musik Kyai Kanjeng. Tanpa bicara dalil, tapi kalimat kalimat yang dilontarkan beliau sebenarnya ada dalilnya. Kalau mereka benar-benar penghapal hadits pasti tahu yang disampaikan Cak Nun ada ayatnya. Jadi nggak harus ngArab, "wal kodok mbadok kadal, kolu ra kolu untal....".

Wis ah, Zuukkk.

Selasa, 19 Desember 2017

Boikot Setengah Matang



Kita memang bangsa yang rakyatnya suka ikut-ikutan alias latah. Ikut-ikutan marah saat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Aslinya banyak dari mereka nggak paham kenapa Yerusalem tidak boleh dijadikan ibukotanya Israel. Wis, embuh gak eruh, pasti terlihat konyol kalau aku yang menjelaskan. Mending tanyakan ke guru agamamu, Pak Sulthon Nirojim.

Seperti biasa, produk Amrik pun diboikot (boikot setengah hati, nggak semua produk. Kalau semua produk diboikot, bisa kembali ke zaman neolitikum). Aksi boikot pun juga banyak yang cuman ikut-ikutan. Nggak pernah ngopi di Starbuck, tapi ikutan memboikot Starbuck. Itu mirip pemboikot Traveloka yang nggak pernah naik pesawat. Apik Le.

Pokoknya kalau sudah atas nama solidaritas sesama Muslim, harus ikutan demo atau boikot! Gundulmu. Itulah mereka, orang lain dipikir seperti dirinya. Tiap Muslim punya cara, juga kesempatan dan kesibukan yang berbeda. Ada yang lebih urgen dari itu semua. Mumet ndase mikir utang durung nyahur kok ngurusi boikot. Makan itu boikot.

Makan ke KFC setahun sekali, teriak "boikot KFC!" Saat ikutan nggeruduk ke gerai KFC, eh lha kok ketemu tetangganya yang ternyata Asisten Manajer di sana --asyu--. Tentu saja doi tengsin berat . "Ojok ngomong sopo-sopo yo mas..janji lho, " rengeknya dengan muka burek abang ireng gak karu-karuan.

Jadi sebenarnya tanpa teriak boikot pun, mereka itu sudah memboikot dengan sendirinya. Lha wong nggak pernah ke KFC atau Starbuck. Dan nggak usah pakai acara segel segala.  Nggak ada pengaruhnya atau nggak akan merubah keadaan. Kalau gerai KFC, Starbuck, Mc Donald disegel, apa para penyegel itu mau menghidupi anak istri si karyawan yang terpaksa mbambung, kehilangan pekerjaan.

Kita ini sepertinya kekurangan cara melawan arogansi Zionis Israel dan kroninya. Akhirnya main boikot-boikotan. Padahal produk yang diboikot karyawannya orang Indonesia juga, muslim lagi.

Banyak orang yang berpikirnya sempit, dipikirnya kalau kerja di produk kafir langsung auto kafir, padahal jelas-jelas produknya halal. Ada seorang Muslim jadi Satpam di gereja langsung dicap kafir. Padahal mereka cuma menjaga benda dan nyawa jamaah gereja, tidak ikutan sembahyang. Nggak masalah yang kerja di gereja atau di mana pun, semua tergantung pada konsep dan niatnya.

Lagian KFC nggak ada urusannya dengan Donald Trump. Dan tidak semua orang Amrik pro dengan keputusan Donald Trump. Bahkan tidak semua Yahudi setuju dengan putusan itu. Juga nggak semua Yahudi suka dengan cara-cara Zionis mengintimidasi dan menyakiti rakyat Palestina. Salah satunya adalah Profesor Norman Gary Finkelstein.

Profesor Norman Gary Finkelstein adalah orang Yahudi asli. Ayah dan ibunya adalah korban tragedi holocaust oleh tentara Nazi Jerman di Auschwitz. Tapi dia tidak dendam pada Nazi dan malah mengecam keras orang Yahudi yang menjadikan tragedi holocaust sebagai alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap warga Palestina. Menurutnya itu adalah tindakan yang hina.

"Kalau anda punya hati nurani, maka anda akan menangisi nasib penduduk Palestina (yang tertindas), bukan menangisi masa lalu (holocaust)!" kata Profesor Norman emosi pada seorang audiens yang menentangnya --cari sendiri link pidionya di fesbuk atau yutub. Nggolek enake tok ae kon iku--.

Tidak semua Yahudi itu Zionis atau pro dengan penindasan Israel atas Palestina. Karena sebenarnya semua agama mengajarkan umatnya berbuat baik pada sesama manusia. Salah satunya adalah tidak mendendam. Balas dendam tidak diajarkan oleh agama mana pun. Agama datang untuk mendamaikan, nggak malah jadi biang perang.

Boikot tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Apalagi ternyata produk yang kita konsumsi kebanyakan produksi Amrik. Ada cara yang lebih elegan dalam mengekspresikan sikap anti Donald Trump. Misal demo di depan kedutaan besar Amrik atau kalau berani langsung ke Palestina sana. Tapi berdiam diri bukan berarti nggak perduli, nggak masalah kalau bisanya cuman sedekah doa. Lha wong mampunya cuman itu. Tiap orang punya cara dan kesibukan yang berbeda.

Ya sudah itu saja. Percuma nulis panjang-panjang, aku gak yakin diwoco kabeh, ayo ngaku saja.

Zuukkk.

-Robbi Gandamana- 

Jangan Terlalu Serius Bermedsos



Medsos itu tempatnya kepalsuan, jangan terlalu serius menyikapinya. Nggak ada yang indah di sana, yang ada adalah diindah-indahkan. Pencitraan dimana-mana. Wedus dipupuri, asu dipacaki.

Makanya saya sekarang agak males bikin status di fesbuk bertema common sense dan atau soal agama. Takut dikira bijak, alim, pinter atau hebat. Aku bukan jenis orang seperti itu. Aku termasuk golongan ndlahom (ini serius). Aku hanya terlalu percaya diri. Yang kutulis itu 'menurut saya' (kecuali soal tafsir Qur'an, rumus ilmu eksak. Itu harus menurut ahlinya). Aku termasuk jenis manusia yang tahu sedikit tentang sedikit hal. Jadi, ilmuku pas-pasan.

Aku tersiksa dengan harapan mereka, dipikirnya aku ini orang baik, sampai ada yang ngefan segala. Opo ae se rek, fuck shit! Fuck populer! Ngefan kok sama fesbuker nggak jelas yang cuman menulis di belakang meja, nggak pernah terlihat aktif berkegiatan sosial di dunia nyata.

Tapi sebenarnya bagus kalau orang berani beropini. Walau ternyata opini itu salah. Kesalahan tidak terletak pada si penulis opini tapi pada pembacanya yang mengangap opini adalah kebenaran. Itu bodoh.

Di dunia ini tidak ada ilmu, opini, quotes, statement, tafsir yang betul-betul benar. Kebenaran kita itu relatif. Yang pasti benar itu Tuhan, Nabi dan kitab suci. Manusia hanya menafsirkan kebenaran dari kitab suciNya. Tafsir itu bukan kebenaran. Jadi omongan Ulama, Kyai, Ustadz itu bukan kebenaran, tapi tafsir. Soal ini sudah aku tulis di tulisanku kemarin.

Makanya nggak usah terlalu menyanjung tinggi seleb medsos, dan juga nggak perlu membully rival seleb jagoanmu. Seperti kemarin, banyak yang memuji-muji Ustadz Felix setinggi langit dan mengutuk Permadi Arya alias Ustadz Janda Al Bolavoli. Padahal menurutku, semuanya sama saja --> ndlahom kabeh. Tapi lebih ndlahom aku se. Ndlahom is not a crime!

Ustadz Felix memang jos hafalan ilmu agamanya, tapi bukan berarti dia lebih hebat dari Permadi Arya. Nggak ada manusia yang lebih unggul. Keunggulan manusia yang satu adalah kekurangan manusia yang lainnya, begitu juga sebaliknya. Tapi yang jelas mereka itu sama-sama mencintai negeri ini dan mengekpresikannya dengan cara dan gaya mereka sendiri.

Memangnya apa yang mereka dapat dari membully, mengutuk, menghujat Permadi Arya? Apalagi ada yang sampai mendoakan agar Permadi Arya cepat mati. Memangnya Tuhan pembunuh berantai! What the fuck with you!?

Zaman sekarang Tuhan digambarkan sebagai tukang siksa yang sadis. Jelas Tuhan Maha pengasih dan penyayang. Cintanya mendahului murkanya. Manusia tempatnya salah dan memang dihakikatkan melakukan kesalahan. Kalau di dunia ini tidak ada orang yang berbuat dosa, Tuhan tidak bisa menjalankan sifatnya yang maha pengampun. Yang penting kita tahu kesalahan kita, mohon ampun dan bertobat tidak mengulangi lagi.

Oke, kembali ke medsos..

Di medsos itu nggak ada yang hebat, yang ada adalah dihebat-hebatkan.  Jangan heran kalau ada foto profil yang jauuuuhhh lebih cuantikkkk dari wajah aslinya, bikin status kalimat bijaksana tapi hutangnya nggak dibayar, aplot makanan enak di restoran ternyata mbayarnya ninggal STNK motor. Wadawww.

Nggak cuma di medsos, zaman sekarang ini penuh dengan kepalsuan. Pelawak sekarang pun jarang ada yang lucu, yang ada adalah dilucu-lucukan. Pelawak itu orang yang lucu, bukan dibuat agar lucu. Artinya lucunya alami, dia bisa tampil sangat lucu di panggung tanpa latihan dulu.

Pemimpin zaman sekarang nggak ada yang nggak pencitraan. Dan memang harus pencitraan. Syarat mutlak jadi pemimpin sekarang ini harus pencitraan. Mengiklankan diri di TV itu pencitraan, karena yang diperlihatkan ke publik tentu saja yang baik-baik. Boroknya ditutupi, ditensoplas rapi. Publik jangan sampai tahu kelemahan calon pemimpin. Pokoknya bermain sebagai malaikat.

Itulah kepemimpinan negeri ini. Sepertinya pencitraan itu suatu keharusan. Yang paling parah adalah mengorek-ngorek kekurangan pemimpin lain agar terlihat hebat. Remuk Nda.

Tanpa pencitraan, seorang Cagub, Capres, Capjay,..dipastikan kalah. Semuanya pencitraan, bedanya cuman pada kadar noraknya. Mau pencitraan atau tidak, nggak penting. Asal berkompetisi secara fair dan sehat, nggak pakai black campaign dan isu Sara. Yang penting janji-janjinya saat kampanye direalisasikan dengan benar.

Sementara itu saja.....otw toilet. Zuuukkkk.

- Robbi Gandamana-

*Wedus dipupuri : Kambing dibedaki.




Kamis, 07 Desember 2017

Ketika Kebenaran Dibenturkan dengan Kebenaran (ILC TV One)


Sip lah, pernyataan Mahfud MD soal Khilafah di ILC kemaren ternyata sepemikiran dengan Cak Nun. Bahwa Khilafah itu bukan sebuah sistem pemerintahan, bukan gerakan ideologi yang akan mengganti sistem yang sudah disepakati (Pancasila). Gerakan ideologi seperti itu tentu saja terlarang, harus dihancurkeun.

Wis pokoke sip lah. Apik Fud!

Khilafah memang Sunnah Rasul, seorang Muslim harus Khilafah (berjalan di belakang Allah). Jika seorang Muslim jadi pemimpin, maka dia harus Khilafah, artinya semua keputusan yang dibuat harus tidak bertentangan dengan syariat Islam. Jadi, Khilafah itu sebuah jalan yang harus ditempuh oleh seorang muslim, bukan sebuah sistem atau ideologi negara.

Khilafah itu bibit, bukan barang jadi. Ada yang ditanam tumbuhnya jadi Repuplik, ada juga yang ditanam menjadi Kerajaan, ada yang jadi NKRI. Jadi, NKRI sudah khilafah. Karena sebenarnya (ojok ngomong koncomu sing Kristen yo) Pancasila itu rumus dan atau substansinya diambil dari Al Qur'an bla bla bla aku pernah nulis soal ini, males mbaleni. Tapi tentu saja Pancasila itu universal, semua agama bisa menerima.

Soal pernyataan Abu Janda yang mengatakan hadits itu dihimpun 200 tahun sesudah Rasul wafat, menurutku nggak perlu Mahfud MD menganggap pernyataan itu menusuk atau melanggar tradisi pesantren NU. Lha wong itu pemahaman pribadi si Abu Janda. Kecuali si Abu Janda bicara atas nama NU.

Kalau jadi pemahaman pribadi monggo-monggo saja, asal tidak dipaksakan ke semua orang. Tidak seperti ideologi Khilafah-nya HTI yang dipaksakan ke umat yang masih ndlahom agama. Itu baru bahaya!

Abu Janda bukan jebolan pesantren atau institusi agama, jadi maklumlah kalau punya pemahaman begitu. Dia hanya otodidak yang mengandalkan akal sehatnya. Soal pemahamannya salah atau tidak, itu urusan dia dengan Tuhannya. Kok repot. Apa menurutmu omongan Ustadz Felix itu kebenaran? Enggak. Itu cuman tafsir.

Semua omongan Ulama, Kyai, Ustadz itu tafsir, bukan kebenaran tapi tafsir. Semua sama-sama mencari Islamnya Rasulullah. Seorang Muslim wajib tahu bahwa nggak ada kebenaran yang mutlak kecuali Al Qur'an, Rasulullah dan Allah. Kalau hadits? Nggak mutlak benar, masih harus diteliti, diverifikasi dan ditelaah lebih dalam. Karena itu produk 'katanya'. Walaupun shahih, kalau nggak masuk akal, jangan dipakai.

Saya tidak sedang meremehkan hadits, tapi mendayagunakan akal. Karena akal adalah karunia terbesar bagi manusia dan akal itu alat utama dalam berIslam, bukan Al Qur'an atau hadits. Sistem nilai yang terkandung di Qur'an akan sia-sia kalau tidak dipahami dengan akal. Coba saja kambing kamu sodori Al Qur'an, kambingnya paling cuman ndlahom jaya.

Soal kalah menang dalam debat ILC kemarin, menurutku nggak ada yang kalah dan yang menang. Saya tidak sedang membela Abu Janda atau Ustadz Felix. Semua punya kelebihan dan kekurangan. Saya akui Felix punya wawasan atau pengetahuan yang luas soal agama di banding si Janda. Tapi soal kedalaman memahami hidup, nanti dulu. Kalau cuma menghafal, anak kecil juga bisa.

Seandainya ada salah satu dari dua orang itu yang kamu anggap kalah, nggak usahlah pakai membodoh-bodohkan, hinaan, bully-an, apalagi sampai membenci. Muslim dilarang membenci manusia. Membenci itu pada pilihan hidupnya, pola pikirnya, dan seterusnya, jadi bukan pada manusianya.

Banyak orang yang kebablasan dalam menyikapi sebuah kemenangan (yang belum tentu menang).  Mereka bersorak girang atas apa yang menimpa seseorang yang dianggap kalah. Disertai dengan makian dan hinaan seperti lalat yang berpesta di atas borok orang. Seperti yang menimpa Abu Janda. Komentarnya asu tenan : "Ustadz taek!", "Ustadz peli!", dan lainnya. Padahal mereka ngakunya Muslim. Muslim cap opo iku rek.

Banyak orang wagu seperti itu, maksudnya memperjuangkan Islam tapi dengan cara bajingan. Dengan pedenya membodoh-bodohkan seorang Kyai, padahal ngajinya masih gratal grutul gelagepan koyok iwak muhajir eh mujahir. Terlihat pandai dengan cara membodohkan orang. Mengatai orang dengan kata-kata yang merendahkan. Apalagi setelah dicek, akunnya abal-abal, ternyata cuman pengecut profesional.

Bangsa ini memang rentan dibenturkan satu sama lain. Menurut Cak Nun, benturan antar Ormas atau golongan yang terjadi sekarang ini karena kesembronoan ilmu. Nggak terlalu paham ilmunya, tapi berdebat sengit soal yang nggak dipahami itu. Itulah yang terjadi pada Abu Janda dan Ustadz Felix. Nasab keilmuanya beda, madzhabnya beda, kok nekad debat. Itu yang disebut membenturkan kebenaran dengan kebenaran.

Tapi, jangan terlalu serius dengan tontonan ILC (Indonesian Liar Club). Sama juga dengan sinetron, semua yang ada di TV itu cuman dagangan. Mereka menjual polemik yang terjadi di negeri ini. Jadi semua itu cuman soal rating.

-Robbi Gandamana-

Jumat, 01 Desember 2017

Maulid Nabi atau Maulid Muhammad?



Sebenarnya ada kesalahan (kalau bisa disebut begitu) pada peringatan kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. Maulid Nabi itu harusnya sama dengan hari Nuzulul Qur'an (17 Ramadhan), bukan 12 Rabiul Awal. Pada 12 Rabiul Awal Muhammad belum diangkat jadi Nabi atau Rasul. Tentu saja nama peringatan kelahirannya bukan Nuzulul Qur'an (turunnya Al Qur'an), hanya berbarengan dengan Nuzulul Qur'an.

Memang, Muhammad diangkat jadi Rasul saat di gua Hiro. Tapi kalau peringatan lahirnya dimulai saat di gua Hiro bakalan repot menentukan tanggalnya, karena ada beberapa pendapat di kalangan Ulama soal kapan (tanggal berapa) peristiwa itu terjadi.

Jadi pada tanggal 12 Rabiul Awal itu Maulid Muhammad, bukan Maulid Nabi. Bedakan antara Muhammad sebagai anaknya Abdullah dan Muhammad sebagai Nabi dan atau Rasulullah.

Ini soal sederhana, tapi jangan diremehkan karena pemahaman agama itu membutuhkan akurasi (walau sebenarnya nggak ada madzhab yang betul-betul benar. Semua madzhab itu mencari Islamnya Rasulullah). Lha kalau membedakan Muhammad sebagai orang biasa dengan Muhammad yang Rasulullah saja nggak bisa, bagaimana memahami ayat yang lebih butuh pemikiran matang.

Tapi itu nggak masalah, Allah itu maha nrimake (nrimake iku boso Indonesiane opo rek?), yang penting niat dan hatimu mencintai Rasulullah dan sebisa-bisa mungkin meneladani akhlaknya. Nggak cuman meniru kostum atau tongkrongannya doang. Kalau benar-benar ingin penampilannya kayak Rasul, harusnya berambut gondrong. Karena Rasulullah itu rambutnya gondrong (tapi nggak gondes).

Itu soal pemahaman. Aku dewe yo awam agama---Aku muslim yang paling Ikhlas karena hafalnya cuman Surah Al Ikhlas--- Pemahaman dan kedalaman dalam ber-Islam tiap orang pasti berbeda. Nggak usah berdebat dan nggak usah menyalahkan. Sakarep-karepmu, sing penting rukun aman manunggal sentosa.

Kalau ada yang membid'ahkan peringatan Maulid Nabi yo jarno ae, nggak masalah. Sing penting nggak reseh nuding-nuding orang yang nggak sepaham. Tapi mereka itu little bit wagu kok, kelahiran anaknya diperingati, kelahiran istrinya diperingati, kelahiran boss-nya diperingati, tapi kelahiran Nabinya sendiri nggak pernah diperingati, malah dibid'ahkan. Ya'opo se rek.

Orang memperingati kelahiran seseorang itu karena cinta, respect atau salut. Oke, memperingati kelahiran tidak dicontohkan Nabi, tapi juga tidak ada larangannya. Repot kalau semua perbuatan harus sudah pernah dicontohkan atau diperintahkan Nabi. Hanya malaikat yang melakukan perbuatan harus ada perintah dulu.

Nabi hanya mencontohkan subtansinya, nggak detail. Kalau semua dicontohkan yo benjut boss, karena banyak alat atau kegiatan yang di zaman Nabi yang belum ada. Jadi pahami substansinya. Misal, Nabi itu orang yang sangat menghormati hukum yang sudah disepakati bersama, harusnya pakai helm saat berkendara di jalan raya itu Sunnah Rasul, karena itu hukum yang berlaku dan disepakati bersama. Salah nggak?

Tapi aku juga belum pernah tahu bagaimana orang Arab muslim merayakan ulang tahun. Apa ya juga nyanyi-nyanyi sambil tepuk tangan, " hepi bede tuyuuu...mari mangan kwentuuu..." Oalaa remukk Ndes.

Rasul juga tidak pernah bilang agar kelahirannya dirayakan. Pasti konyol kalau beliau melakukan itu. Kita sebagai umat yang mencintai beliau merasa punya kewajiban moral untuk memberikan semacam 'penghormatan' dengan memperingati hari lahirnya (walaupun tanggalnya nggak tepat).

Memperingati Maulid Nabi banyak macam dan caranya. Itu terserah-terserah kita, asal itu baik. Di Solo dan Jogja peringatan Maulid Nabi dirayakan dengan acara yang disebut Sekaten yang aslinya Syahadatain, artinya dua kalimah syahadat. Orang Jawa susah mengucapkan Syahadatain, akhirnya jadi Sekaten.

Sekaten ini berupa pasar rakyat selama 7 hari yang di dalamnya terdapat prosesi  di hari pertama dan diteruskan dengan tradisi Grebeg Muludan dan Numplak Wajik. Sekaten ini adalah bentuk perkawinan antara ajaran Islam dan tradisi budaya Jawa. Gak popo, sing penting niatnya.

Jadi, bagi saya nggak masalah merayakan, memperingati hari kelahiran selama itu baik. Bahkan jadi amalan baik kalau dirayakan dengan benar, mentraktir orang lain makan rame-rame disertai dengan doa yang baik. Membahagiakan orang lain khan jos markojos boss.

Sudah itu saja. Jangan percaya begitu saja dengan tulisan ini!

-Robbi Gandamana-



Rabu, 29 November 2017

Bondan Winarno dan Negeri Amburadul



Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Begitu pula Bondan Winarno (BW) yang telah berpulang kemarin pagi. Beliau meninggalkan nama besarnya di bidang kuliner dengan jargon : "Maknyussss..!"

Walaupun istilah "maknyus' itu sebenarnya bukan karangan BW, tapi Umar Kayam. Umar Kayam lah yang duluan memakai istilah 'maknyus' di dalam ucapan maupun tulisan-tulisan esai-nya di Harian Kedaulatan Rakyat Jogja (dibukukan dengan judul "Mangan Ora Mangan Kumpul").

Tapi nggak masalah. Kalau cuman istilah nggak perlulah pakai Hak Cipta. Seperti halnya Istilah 'kids jaman now' yang lagi trend, tiap orang boleh pakai istilah itu (saya sendiri nggak akan pakai bla bla bla fuck trend!).

Selama ini masyarakat luas kebanyakan mengenal BW sebagai pakar kuliner, padahal beliau adalah mantan jurnalis handal Tempo. Jurnalis cerdas yang paham seluk beluk mafia di negara ini. Beliau adalah patriot yang berani mengungkapkan kebenaran yang malah dituntut 2 trilyun oleh seorang menteri yang merasa dicemarkan nama baiknya. (Cari kisah skandal Bre-X di Google).

Makanya beliau tobat, nggak lagi ngurusi 'sakitnya' negara ini. Karena hanya Tuhan yang sanggup mengobati Indonesia. Lebih aman dan menyenangkan ngurusi badokan, "Maknyusss Ndes!" Nggak masalah, kalau nggak sanggup membenahi minimal tidak menambah kerusakan.

Kerusakan negara ini sudah sistemik. Apesnya, setiap terjadi kedzaliman, Jokowi yang disalahkan. Saat Novel Baswedan disiram air keras, yang dikutuk Jokowi (rezim Jokowi). Padahal Jokowi nggak ada kaitannya dengan kasus yang diusut Novel (KPK). Dikit-dikit kok rezim Jokowi. Ketika ada pejabat yang bejat moralnya, sinis, "Inikah produk revolusi mental Jokowi?" Ndasmu.

Revolusi mental itu tidak bisa tuntas dalam 5 tahun. 100 tahun pun kadang nggak cukup untuk merevolusi mental rakyat yang sudah jadi peradaban---> sulit antri, buang sampah sembarangan, mengeksploitasi alam tanpa perhitungan matang, pungli, suap, dan seterusnya. Apalagi pemimpin yang terpilih berikutnya gengsi meneruskan program pemimpin sebelumnya, walau dia tahu program itu baik.

Semua berita politik di media maya maupun nyata jangan terlalu diambil hati. Karena semua nggak 100% seperti yang diberitakan. Pecah ndasmu kalau anda baper dengan berita-berita politik yang selama ini beredar. Berita politik di Indonesia itu cuma versi kedengkian antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. BW sangat memahami itu. Jadi anda cukup waspada saja, jangan terlalu percaya.

BW tidak ingin bernasib sama dengan Udin, seorang wartawan Bernas yang dibunuh karena mengusik pejabat (penguasa) di Bantul saat itu, atau Munir yang diracun hingga tewas karena terlalu getol membela kebenaran, begitu juga dengan Marsinah, Widji Tukul, Salim Kancil dan banyak lagi yang tidak terekspos media. Kebanyakan semua aktivis yang mengungkapkan kebenaran berakhir di kuburan. Superman is dead!

Di zaman sekarang, jangan terlalu yakin dengan jargon : "Kebenaran pasti menang". Bisa jadi memang akan menang, tapi kemenangan di akhirat. Jadi, yang pasti adalah pembela kebenaran harus siap jadi tumbal untuk kemenangan itu. Kalau anda memang menghibahkan hidup anda untuk kebenaran, monggo saja lakukan apa yang pernah dilakukan para aktivis yang pernah saya sebut di atas.

Kita hidup di negeri yang sepertinya semua pejabat dan aparatnya sangat ramah. Padahal mafia ada dimana-mana. Bahkan bisa lebih kejam dari para mafia di film "Godfather". Departemen yang kelihatannya alim pun ternyata penuh dengan pencoleng. Pengadaan kitab suci Al Qur'an pun dikorupsi. Subhanalloh.

Selama sistem negara kita masih seperti ini, jangan kaget kalau negeri ini tetap amburadul. Akan ada banyak pejabat macam Setnov. Tersangka korupsi tapi masih jadi ketua DPR. Dulu Presiden SBY masih bisa nyambi jadi ketua partai. Padahal partai adalah alat untuk menuju kekuasaan. Kalau sudah jadi Kepala Negara harusnya fokus pada rakyat, tidak pada partai lagi.

Jadi saran saya, jangan terlalu mengandalkan KPK, Jokowi, Prabowo, Ahok, Anies, Habib Rizieq, apalagi DPR. Pokoknya jangan andalkan orang lain. Lakukan saja hal yang menurutmu baik dan jalani itu dengan proses yang sabar dan semaksimal mungkin. Embuh dadine ya'opo, sing penting menanam kebaikan, menurut gaya dan caramu sendiri. Sak iso-isomu, walau cuman berupa status fesbuk.

Zuukkkk. Selamat jalan Bondan Winanrno, semoga mendapat tempat yang paling layak di sisiNya. Aamiin.

-Robbi Gandamana-

Selasa, 28 November 2017

Antara Salib dan Bulan Sabit



Rambutku hampir rontok ketika menyimak ceramahnya Usratdz Tomat eh, Somad kemarin. Ustadz yang alergi berat pada pada gambar atau sesuatu yang mirip salib. Lambang palang merah pun diidentikan dengan salib. Dia menganjurkan agar lambang red cross tadi diganti dengan bulan sabit.

Tapi nggak masalah, aku tidak menganggapnya sebuah kebodohan atau apa. Lha wong keyakinannya begitu, terus kate lapo. Jarno ae. Nggak perlu membodoh-bodohkan dan nggak perlu membullynya. Biasa ae boss.

Wong-wong iku pancen wagu kok. Ada artis buka jilbab pada reseh, padahal itu belum buka rok dan sempaknya. Senengane kok ngurusi pribadi orang. Allah itu nggak reseh, Dia membebaskan hambaNya menentukan pilihan hidup: "Faman sya'a fal-yu'min waman sya'a fal-yakfur", mau beriman silakan, mau mbalelo juga monggo. Malah manusianya yang reseh ngurusi pilihan hidup orang.

Menurutku, salib atau benda apa pun yang digunakan sebagai asesoris ibadah itu cuman alat. Tujuannya agar ibadahnya lebih fokus. Benda itu nggak ada agamanya. Yang beragama itu manusianya.

Sama seperti salib, Al Qur'an itu juga hakikatnya bukan Islam. Al Qur'an itu cuman menghantarkan  Islam. Ayat-ayatnya itu yang Islam, bukan kertas atau bukunya. Jadi kalau Henponmu ada ayat sucinya, kamu harus memperlakukannya seperti Al Qur'an. Ojok dikesak nang celono, berhimpitan dengan penismu.

Dulu pas gempa Jogja, ada bantuan selimut yang ditolak warga hanya karena ada gambar salibnya (logo sebuah yayasan). Kalau aku pasti kuterima, jangankan gambar salib, gambar Yesus beserta ibunya pun aku ambil. Lha wong cuman buat tidur saja lho.

Apa kalau pakai selimut bergambar salib terus jadi Auto-Kristen? Ndasmu. Saya sendiri Islam rileks. Selama hati bertauhid, nggak ada urusan kalau selimut atau kaos bergambar salib, dajjal, pentagram, jin iprit, setan gundul, embuh wis. Yang penting bisa menempatkan diri, kapan dan dimana memakainya.

Banyak dari kita yang belum benar-benar paham 'alat' dan 'tujuan'. Fiqih pun itu sebenarnya alat, tujuannya agar kita selamat, aman sampai ke tujuan akhir(rat). Sama seperti lampu Traffic Light (di Solo istilahnya Bangjo). Itu cuman alat. Tujuanya agar kita aman, lancar dan tertib. Saat lampu menyala merah pun sebenarnya kita boleh saja terus jalan, asal kita benar-benar yakin bahwa di kanan kiri depan belakang tidak ada kendaraan lewat. Jangan asal terobos saja, bisa modar kau.

Jangan diartikan saya menganjurkan anda untuk menerobos lampu merah. Pahami subtansinya. Oke?

Orang modern itu kadang lucu. Dikalahkan oleh mesin. Saat lampu merah menyala, berhenti dan menunggu lampu menyala hijau. Padahal saat itu jam 11 malam, sedangkan dia tahu pasti di sekelilingnya sepi, nggak ada kendaraan lewat. Kok yo manut karo lampu. Itu bisa dimaklumi kalau terjadi di siang hari. Di samping sungkan sama orang sekitar, juga karena takut  kalau-kalau ada polisi.

---Berdakwah itu tidak harus jadi Da'i atau Ustadz, melakukan perbuatan baik itu juga dakwah. Misalnya saat kita berkendara dengan anak kecil di jalan raya. Selama di jalan kita tertib, tidak menerobos lampu merah, walaupun sebenarnya bisa (karena sepi). Itu kita sedang melakukan dakwah pada anak yang dibonceng tadi---

Masalahnya kita itu masih kagetan, nggumunan dan reseh. Ada artis copot jilbab saja reaksinya luar biasa. Mendadak semuanya jadi sok alim. Sepertinya copot jilbab itu hina banget. Sudahlah, banyak yang lebih penting dari ngurusi artis copot jilbab. Mending urusi aqidahmu sendiri, sudah benar nggak ibadahmu.

Hidup itu indah bila kita punya keluasan hati dan pikiran. Nggak gampang stress lihat dunia yang semakin morat-marit ini.

Seandainya nanti ada yang aplot seorang Kyai ceramah atau shalat di gereja, kalian nggak usah reseh. Mereka lebih tahu apa yang diperbuatnya. Yang salah itu yang ngaplot dan yang ngeshare. Karena hal seperti itu jangan sampai dikonsumsi orang awam yang pemahamannya masih dangkal koyok aku iki.

Pokoknya luaskan hati, pikiran dan wawasan, biar nggak gampang reseh, gampang diakali, gampang diprovokasi, gampang membully, dan gampang diadu domba.

Zuukkk.

-Robbi Gandamana-

Senin, 13 November 2017

Ketika Boss Bermain sebagai Tuhan


Bersyukurlah orang yang nggak punya posisi atau jabatan apa-apa di masyarakat, pabrik, atau pemerintahan. Oke, penghasilan mereka memang cekak, tapi mereka sangat merdeka. Bisa bebas tertawa sengakak mungkin, bisa bergaul dengan siapapun seakrab mungkin, misuh di fesbuk pun nyantai tanpa harus repot jaga imej fucking shit!

Aku melihat banyak orang yang punya posisi penting di masyarakat, di tempat kerja atau di mana pun itu dunianya sempit. Bergaji besar tapi nggak bisa akrab dengan sembarang orang, nggak bisa tertawa ngakak di tengah keramaian, kalau makan bareng bersama bawahannya sedikit dan cara makannya hati-hati sekali. Padahal kalau di rumah makannya kayak Buto Terong, sikat habis! rakus jaya.

Dan yang paling berat jadi orang yang punya posisi penting atau boss adalah tanggung jawabnya besar, di dunia maupun akhirat.

----Tulisan ini berdasar pengalaman temanku yang punya teman, belasan tahun jadi karyawan (buruh) di pabrik Mbeladus Jaya----

Sealim-alimnya orang, kalau sudah jadi boss biasanya sekuler. Nggak sedikit perusahaan yang menekan karyawan tua agar nggak tahan dan resign, sehingga boss tidak perlu melaksanakan kewajiban bayar pesangon. Ada juga yang ngibuli karyawannya, ngomong kalau pabriknya belum untung, ngasih uang THR nggak bisa penuh. Tapi setelah lebaran si boss beli mobil mewah.

Nggak sedikit boss yang jadi congkak karena merasa sudah punya pabrik besar dan mampu menghidupi ratusan karyawan. Sehingga merasa dirinya hebat dan selalu benar. Karyawannya dianggap anak TK. Sekalipun kamu lulusan Sarjana Seni Rupa, kamu akan diajari bagaimana cara nggambar yang benar. Padahal boss-mu sama sekali nggak bisa nggambar dan tidak pernah sekolah seni rupa.

Selama masih kerja di pabrik, kamu akan dianggap buruh oleh bossmu. Walaupun sejatinya kamu adalah seorang profesional, tetap saja kau adalah buruh dengan gaji UMR. Bakat besar yang kamu miliki (yang tidak semua orang punya) diremehkan, disamakan dengan profesi lain yang skill-nya bukan karena bakat, tapi ilmu katon.

Karena itulah banyak karyawan yang tiap kali keluar dari ruang meeting bersama boss-nya, tidak bertambah cerdas, tapi malah sebaliknya : dumber than before. Ndlahom total.

Tuhan tidak memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya, tapi boss ngasih beban diluar batas kekuatan karyawannya. Boss itu kayak Tuhan kedua bagi bawahannya. Apa pun titahnya tidak boleh disanggah, ditolak atau tidak dilaksanakan. Saat boss melucu, karyawan wajib tertawa. Kalau nggak tertawa, dianggap tidak menyimak omongannya.

Saat kerjaan karyawan overload, boss nggak mau repot cari freelancer untuk mengurangi beban si karyawan. Karyawannya hanya bisa misuh dalam hati : jancok jancok jancok jancok 100X sampai dia tidak tahu bedanya misuh dan dzikir. Karena saking seringnya misuh dan dzikir di waktu yang sama. Habis ngomong jancok nyesel, selanjutnya bilang Subhanalloh.

Apalagi solidaritas di tempat kerja itu omong kosong. Walau temanmu tahu persis apa yang dilakukan boss-mu salah terhadapmu, mereka tidak bisa menolongmu. Temanmu hanya bisa menguatkan hatimu, "Sabar yo Ndes..". Semua orang pada cari selamat. Semua orang sibuk dengan kerjaannya sendiri.

Karena pada cari selamat, banyak karyawan yang terjebak jadi pendusta. Tipu-tipu pun jadi makanan sehari-hari asal boss senang.

Padahal lebih baik dipecat karena jujur. Daripada kamu berjaya di sebuah perusahaan tapi hasil dari laporan kerja tipu-tipu, penuh kepalsuan dan pencitraan. Itu sama saja memposisikan Tuhan levelnya di bawah bossmu. Kamu berani mengabaikan perintahNya demi kepuasan Bossmu. Kamu bukan gigolo khan?

(Sebenarnya keren kalau tulisan ini judulnya "Boss 'Germo' dan Karyawan 'Gigolo'", tapi aku nggak tega.....dan nggak berani jadi Pahlawan Kesiangan).

Aku nulis ini tidak untuk melemahkan cita-citamu yang ingin jadi boss dan atau menyinggung siapa pun, kalau ada kesamaan kisah itu hanya kebetulan saja. Jadilah boss besar di pabrikmu sendiri, asal tetap punya nurani. Boss atau owner di sebuah pabrik atau perusahaan itu keren dan mulia, karena menghidupi orang banyak. Tapi yang jelas, jadi boss itu tidak seindah dan semudah yang kalian bayangkan.

Jadi sebenarnya lebih enak jadi karyawan atau boss sih?

-Robbi Gandamana-

Jumat, 03 November 2017

Mario Kemeruh (Kita Butuh Sengsara)


Dalam hidup manusia, tidak ada yang selama hidupnya bahagia terus atau terus-terusan susah. Hidup itu dinamis, roda kehidupan terus berputar, kadang sengsara kadang bahagia.
Syarat utama bahagia adalah merasakan sakit atau sengsara. Untuk meraih bahagia pastilah bersakit-sakit dulu. Kalau nggak mau sengsara ya jangan bercita-cita bahagia.
Yang paling diperlukan manusia adalah (punya banyak pengalaman) sengsara. Karena pendewasaan hidup itu tercipta dari kesengsaraan. Tanpa sengsara orang tidak akan pernah dewasa bla bla bla bla..ini soal sederhana, anda pasti lebih paham daripada saya. Nek diterusno aku iso dadi Mario Kemeruh.
Yang jelas manusia tidak akan lepas dari apa yang namanya sengsara. Sengsara itu pasti, bersabar itu pilihan. Tapi orang kaya yang kelihatannya selalu bahagia belum tentu bahagia. Akeh koncoku sing koyok ngono iku. Saat menepi dipojokan, curhat soal tagihan kredit mobil yang nunggak, tentang istri yang hedonis yang suka menguras uang suaminya, dan seterusnya.
Kaya tidak menjamin bahagia. Justru yang terlalu kaya itu yang mudah susah. Nggak tahan banting. Ada masalah sedikit bunuh diri. Banyak dari mereka yang kawin cerai dengan rileksnya karena tidak tahan sengsara (cobaan). Mereka mengamalkan quotes payah : "Lebih baik berakhir pahit daripada merasakan pahit yang tiada akhir."
Padahal pernikahan itu lebih banyak pahitnya daripada manisnya--> harus menghidupi anak istri, menyekolahkan, menikahkan, mendidiknya dengan benar, dan buanyak lagi yang lainnya. Itulah jihad yang sesungguhnya.Jadi nggak harus pergi perang ke Aghanistan atau Palestina. Berani mati itu hebat, tapi lebih hebat lagi berani hidup : menghidupi anak istri dengan kerja keras yang halal.
Makanya tujuan pernikahan itu sosial bukan biologis. Kalau nikahnya hanya karena gak iso nahan ngaceng, alamat nggak nyampai dua tahun rumah tangga bakalan remuk. Trust me.
Kembali ke soal sengsara. Bagi orang yang sudah memasuki dunia batin, sengsara itu nggak ada. Sengsara itu kebahagiaan yang menyamar. Bahagia dan sengsara itu sama saja, bagai dua sisi mata uang yang sama. Sengsara bisa dibuat bahagia dengan mudah, karena apa pun kejadian yang menimpa manusia itu ada sisi lucunya. Jadi kenapa nggak kau tertawakan saja kesedihanmu.
Bahagia itu sederhana. Keluar rumah melihat langit dengan mendung pun itu bisa membuat bahagia. Banyak cara dan jalan keluar dari rasa sedih. Nggak malah lari ke minuman oplosan, drug atau yang paling parah bunuh diri.
Pernah di suatu waktu, saat ndas mumet karena bokek total, aku dipertemukan oleh Tuhan dengan seseorang yang jos gandoss, yang membuatku semangat lagi. Orang yang hatinya sudah selesai. Asal Tuhan tidak marah, dia ikhlas dan bahagia dengan nasibnya.
Dia adalah seorang tukang sapu yang nggak minder dengan profesinya. Nggak canggung berkumpul dengan teman-temannya yang sukses saat reuni. Teman-temannya pada memperlihatkan gadgetnya yang canggih, dia rileks mengeluarkan hengpon jadulnya yang sudah krowak di sana-sini karena sering dibanting anaknya.
---Sukses menurut ukuran orang awam adalah jadi PNS, pejabat atau pengusaha. Bagi si tukang sapu ini, sukses adalah bahagia dan ikhlas menerima takdirNya. Buat apa jadi PNS kalau lewat jalur nyogok. Itu bukan prestasi, itu aib! Jadi berbahagialah kalian yang cuman buruh pabrik tapi bersih dari 'aib' ----
Ngomong soal prestasi, tiap-tiap orang itu beda dalam mendefiniskan prestasi. Bagi si tukang sapu, sebulan tidak ngutang itu sudah prestasi baginya (untuk saat itu, hari esok harus ditingkatkan). Dia telah menemukan makna hidupnya. Bahwa apa yang yang telah digariskan Tuhan pada nasibnya itu punya arti. Semua ada alasannya, Tuhan memberikan yang terbaik bagi umatNya.
Kenapa dia ditakdirkan jadi tukang sapu? kenapa ada orang yang dilahirkan cacat? kenapa Tuhan tidak menciptakan hambanya semuanya kaya dan sukses? Kenapa kok ada yang miskin dan susah hidup? Semua punya arti dalam kehidupan. Jadi, temukan arti hidupmu agar tidak terus-terusan mewek dan meratap pada 'wall' fesbuk.
Tapi bergaya parlente itu nggak masalah asal bertujuan untuk menyemangati hidup, misalnya sekali-sekali makan di rumah makan makanan bule. Bukan karena social climber, seperti buruh pabrik yang memaksakan diri bergadget canggih keluaran baru.


Robbi Gandamana, 4 November 2017

Kemenag Sedang Melucu

Wacana Kemenag yang akan menertibkan para Ustadz yang suka melucu dalam tiap ceramahnya itu lucu. Kurang kerjaan. Mending menertibkan ustadz aliran kaku yang Anti-Pancasila dan atau Ustadz-ustadz ruwet semacam itu.
Menurutku, hal terpenting dalam pengajian itu ilmu yang disampaikan Ustadz nyampai ke jamaahnya. Itu tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Jadi, belum tentu pengajian yang penuh tawa itu tidak berkualitas (jamaahnya tidak mendapatkan ilmu agama). Dan belum tentu juga pengajian yang serius itu pasti berkualitas.
Ada jenis Ustadz yang kalau ceramah mukadimahnya panjang banget atau terlalu banyak pakai istilah Arab, padahal jamaahnya wong kampung yang nggak paham bahasa Arab. Akhirnya pesan atau ilmunya nggak nyampai, karena jamaahnya nggak paham. Banyak Ustadz yang merekayasa kesan seperti itu. Ceramah penuh dengan bahasa Arab agar terkesan 'yes', ilmu agamanya tinggi.
Kalau saya pribadi lebih suka pengajian yang penuh canda, meriah. Sopo se rek sing gak seneng guyon, cek gobloke. Pengajian kok serius banget, iku pengajian opo latihan tentara. Kecuali pengajian dalam rangka mengenang (memperingati) mbah kita yang sudah tiada. Nek iki ojok guyon cekaka'an, iso dipancal raimu karo sing duwe omah.
Bagiku melucu, menyanyi, main musik atau pakai wayang yang pernah dilakukan Sunan Kalijaga itu soal metode. Yang penting paham dosisnya, kapan melucu kapan serius, untuk apa, siapa dan bagaimana tertawanya. Semua pasti tahulah kalau kebanyakan tertawa itu nggak baik. Tapi kebanyakan serius itu juga nggak asyik, bisa jadi malah bikin sakit, weteng senep kebelet ngising....gak \m/etal blas.
Menurut Cak Nun, ceramah yang bagus itu harusnya mudzakkar (maskulin) dan muannats (feminin)nya imbang atau pas. Jadi nggak terus-terusan serius (maskulin), perlu juga ada canda atau hiburan (feminin). Tengoklah alm. KH Zainuddin MZ dulu, jamaahnya nggak cuman muslim, non muslim pun ngefan sama beliau, karena beliau mbanyol pol.
Itu juga yang dilakukan Cak Nun dalam tiap ceramahnya. Tiap kali Cak Nun ceramah, jamaahnya bisa tahan berjam-jam tidak beranjak dari tempat duduknya. Padahal pengajiannya dimulai jam 8 malam sampai jam 12 , kadang sampai pagi. Itu khan mbois banget. Melucu atau guyon itu adalah salah satu bentuk kemesraan antara Cak Nun dengan jamaahnya.
Okelah, kalau memang Kemenag akan menertibkan Ustadz monggo-monggo saja, tapi bukan karena suka melucu atau tidak. Karena ada yang lebih kacau dari itu. Seperti ustadz yang ceramah menyebut "pesta seks di surga" kemarin. Memang nggak ada larangan di surga, semua dipersilahkan, tapi masyarakat awam jangan disuguhi hal-hal seperti itu.
Mungkin sudah saatnya Ustadz disertifikasi. Biar nggak ada lagi fenomena "mendadak Ustadz". Sekali diundang ceramah agama di televisi, besoknya langsung menggelari dirinya Ustadz. Ustadz raimu.
Memang semua orang bisa ngUstadz, tapi nggak baik kalau ngeklaim dirinya sendiri Ustadz. Itu percaya diri banget. Ustadz ni yee, pinter agama yo mas. Orang itu harusnya bisa rumangsa, nggak rumangsa bisa. Biarlah masyarakat saja yang menyematkan gelar Ustadz, gak raimu dewe.


(c) Robbi Gandamana, 1 November 2017

Selasa, 17 Oktober 2017

Pidato Anies Memang Epic



Pidato Anies memang terlalu jujur. Ngomong soal pribumi dan non pribumi di depat rakyat yang hidupnya 'terancam' itu rawan pertumpahan darah. Itu sama saja memanas-manasi rakyat agar mengambil jarak pada non pribumi (keturunan Cina). Mempertebal tembok pemisah antara orang Nusantara dengan keturunan Cina.

--Rakyat Indonesia itu hidupnya terancam. Terancam tidak mendapatkan makanan yang sehat. Terancam tidak mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan yang layak, pendidikan yang pantas, kesehatan yang memenuhi syarat. Hidupnya nggak aman. Banyak birokrat dan aparat yang kerjaannya mengancam daripada mengayomi--

Sudah rahasia umum, kalau orang (keturunan) Cina dirasani dimana-mana. Di pergaulan masyarakat, di warung kopi, di pengajian, di kantor pemerintah dan banyak lagi. Intinya kita takut orang Cina 'menguasai' (menjajah) kita, terutama di bidang perekonomian. Katanya ada 9 naga lah, taipan lah, taek lah. Nggak percaya rugi, percaya juga rugi, mumet ndasmu. Lebih baik waspada saja.

Salahe sopo, sopo mbiyen sing males-malesan. Kalau ingin menguasai perekonomian negeri ini belajarlah dari orang Cina. Tentunya belajar yang baik-baik saja. Sing nggolek pesugihan nang gunung Kawi ojok ditiru.

Jangan salah, orang Cina itu mayoritas kalau dilihat dari segi kwalitas. Sedangkan kita ini minoritas. Orang Cina lah yang sekarang menguasai perekonomian. Secara kwantitas, orang Nusantara yang mayoritas. Tapi sayangnya banyak yang kere. Percuma berjumlah banyak kalau kere berjamaah. Ingat, kere bersatu mudah dikalahkan.

Di zaman ini orang berduit lah yang menang. Semakin berduit, semakin berkuasa. Dengan uang, orang kere bisa dibeli. Itu sebabnya bangsa Nusantara gampang diadu-domba. Maka nggak heran kalau banyak orang hebat (berprestasi) yang mengabdi pada orang kaya. Lulusan S3 pun mengabdi pada orang kaya. Persetan pengabdian pada negara. Negara tidak menjamin jadi kaya. Orang kaya harus dibela!

****
Kata 'pribumi' dan atau 'non pribumi' kalau diucapkan di tempat dan waktu yang salah bisa berbahaya. Yang pidato nggak perhitungan, yang mendengarkan sensitif jenar. Akhire misuh berjamaah. Pidato paling epic di tahun 2017. Epic mblendesss!

Menurutku, pribumi itu definisi singkatnya adalah penduduk asli. Penduduk yang sudah lama menetap, beranak pinak, bersosial budaya di suatu wilayah selama berabad-abad lamanya. Tapi nggak ada jangka waktu yang pasti, harus berapa abad lamanya menetap sehingga dapat copy right "pribumi".

Orang Dayak bisa disebut sebagai penduduk pribumi Kalimantan. Penduduk asli Australia adalah Aborigin. Orang Indian adalah pribumi Amerika. Dan banyak lagi. Mereka sudah menetap duluan di suatu benua, pulau, atau wilayah tertentu selama ratusan tahun. Jadi jika ada kaum yang datang setelahnya, mereka disebut pendatang.

Terlalu jauh kalau menyebut manusia purba sebagai pribumi yang sesungguhnya. Kalau begitu semua manusia keturunan Nabi Adam juga bukan pribumi. Nabi Adam bukan manusia purba. Eksistensi bani Adam sampai saat ini masih sekitar 7000an tahun, sedang manusia purba sudah jutaan tahun.

Menurutku penggolongan pribumi dan non pribumi itu untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Anthropologi) untuk mempermudah pembelajaran. Juga untuk kepentingan administratif. Kalau keturunan Tionghoa, ya jangan tersinggung kalau di kantor kelurahan didata sebagai warga keturunan. Itu bukan SARA. Kalau memang wedus ya jangan dibilang luwak.

Menyinggung SARA kalau penyebutan kata 'pribumi' dan 'non pribumi' di luar kepentingan tadi. Misal dalam pidato politik atau kampanye politik. Kata "pribumi" dan "non pribumi" itu semacam aurat yang nggak bisa sembarangan diucapkan. Jadi asyiknya nggak usah mengucapkan kata-kata itu kalau nggak penting.

Wis rek gak usah gelut, jarene Scorpions, "We are live under the same sun." Saiki kerjo ae sing bener, ojok lali bayaren utangmu.

-Robbi Gandamana-

Rabu, 04 Oktober 2017

Supremasi Hukum itu Omong Kosong! (Belajar dari Kasus Setya Novanto)



Bebasnya Setya Novanto (SN) dari jeratan hukum mengingatkanku pada salah satu quotes dahsyat Cak NUn, "Jangan bercita-cita jadi negara makmur, tapi bercita-citalah jadi negara adil!"

Bingung khan?

Karena kalau adil, dipastikan akan makmur. Sebaliknya, makmur tapi nggak adil, negara jadi kacau. Ketika hukum hanya memihak pada mereka yang ber-uang maka rakyat jelata jadi pecundang.

Makan bareng-bareng lauknya cuman tempe nggak masalah, asal dibagi rata (adil). Daripada makan enak sendirian, tapi makan jatah orang. Yang diambil jatahnya jadi nggak makan.

Bebasnya SN juga membuktikan bahwa hukum itu nggak supreme (tertinggi), yang supreme itu akhlak. Menempatkan hukum sebagai posisi tertinggi (supremasi hukum) dalam suatu negara untuk melindungi rakyat itu omong kosong.

Tujuan utama adanya supremasi hukum adalah menjadikan hukum sebagai pimpinan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mana apabila tujuan tersebut tercapai dapat memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tapi kenyataan yang terjadi, keadilan untuk siapa? Untuk si Tuan Takur.

Makanya negara hukum itu kurang tepat, yang benar adalah negara akhlak. Hakim memutuskan perkara itu tidak pakai pasal-pasal, tapi pakai rasa keadilan (akhlak). Jadi kalau hakim berakhlak mblendes, hasil putusan perkaranya pun jadi nggak beres. Walau adil itu relatif dan nggak ada manusia yang adil, bisanya hanya berusaha seadil-adilnya.

Tapi sudahlah, di negeri ini ketimpangan hukum sudah jadi peradaban, susah untuk dirubah. Lebih asyik kembali ngomong soal kemakmuran.

Kebanyakan orang cita-citanya hidup makmur. Persetan kemakmuran itu didapat dari mana dan dari cara apa, yang penting kaya, gedung mentereng, jalan aspal mulusss, masjid direnovasi ratusan kali, dan seterusnya. Ternyata dana di dapat dari sumbangan (sogokan) para Caleg untuk membeli suara rakyat. Suap tetaplah suap. Haram is haram. Taek gak iso dipoles dadi akik.

Kesalahan orang modern adalah bercita-cita jadi orang kaya, tidak jadi orang bahagia. Dipikirnya kalau kaya itu pasti bahagia. Banyak temanku yang kaya, tapi hidupnya garing, bingung, merana. Soale hobine kenta kentu ae. Aku juga berharap kaya, semua orang ingin kaya, tapi aku lebih suka bahagia. Kaya Alhamdulillah, nggak kaya sudahlah. Salah nggak?

Kerajaan Fir'aun dulu juga sangat makmur. Tapi karena keadilan tidak ditegakan dengan benar, kerajaannya pun hancur juga. Ketidakadilan dan kemaksyiatan itu bagai dua sisi mata uang. Ketika keadilan tidak ditegakan, biasanya kemaksyiatan ikut merajalela. Kemaksyiatan itu juga bentuk dari tidak ketidakadilan, tidak adil pada diri pribadi dan kehidupannya.

Di zaman Orba juga begitu. Rakyat jelata dijadikan kerbau sembelihan. Dikasih kemurahan oleh pemerintah, tapi setelah itu disembelih (kebebasan berpendapat, berekspresi, berkreasi dikekang). Rakyat tidak pernah tahu sejarah asli negerinya sendiri, karena sejarah yang ada direkayasa selama puluhan tahun. Bajingan jadi pahlawan, pahlawan jadi bajingan.

Rezim Orba adalah era penjajahan gaya baru. Serba murah tapi kebebasan dikebiri. Hanya para priyayi dan orang kaya yang berjaya. Selama perut kenyang, mereka nggak akan cari masalah dengan penguasa. Sedangkan yang kere awet merana, barang murah tapi tidak terbeli. Berani bereaksi pasti diculik dan dihabisi.

Kalau ada orang yang ingin kembali ke zaman Orba hanya karena dulu itu serba murah, dipastikan dia nggak paham-paham amat soal 'adil makmur'. "Piye kabare? isih enak zamanku to?" Kiss my ass!

Kalau cuman cari makmur saja, gampang. Datanglah ke Lokalisasi. Dengan selembar dua lembar uang lima puluh ribu (regane piro rek sing murah? aku gak eruh. Sing ngerti inbox yo) kamu akan mendapat pelayanan, kemesraan, pijatan dengan musik mengalun syahdu. Oh yess, oh noooo, oh maigot! Lemes jaya. Tamat.

-Robbi Gandamana -

Kamis, 28 September 2017

Jambul 12 Helai



Nggak jarang saya menjumpai sesama artworker yang nggak mau berkarya kalau tidak ada uangnya. Berkarya kok nunggu orderan atau lomba. Tapi no problem, itu hak mereka. Mereka belum memasuki tahap betapa asyiknya mewarnai dunia. Betapa indah dan nikmatnya berbagi.

Sekali-sekali memberi gratisan pada teman itu perlu (tapi jangan menawarkan diri, bisa benjut jaya kau nak). Seorang ilustrator harus punya pengalaman menggambar gratis temannya atau siapa saja karena simpati. Disamping jam terbang jadi semakin tinggi, Itu juga yang membangun mental. Berkaryanya digerakan oleh hati, bukan oleh materi. Dan itu yang membuatnya jadi legend.

Setidaknya buatlah dirimu berarti bagi kehidupan sekitarmu. Jadilah manusia Sunnah yang kehadirannya diharapkan orang banyak. Atau kalau bisa jadi manusia Wajib, kehadiranmu penting bagi orang lain. Jangan jadi manusia Haram, kehadiranmu malah bikin kisruh.

Nggak perlu ikut-ikutan ngeshare status orang "Menggambar itu profesi, hormati profesi orang dengan tidak minta digambar gratis". Statement itu 100 % benar, tapi itu juga yang membuat tidak nyaman orang yang pernah kamu gambar gratis. Yang ngeshare status seperti itu biasanya tukang gambar kemaren sore. Nggak yakin-yakin amat kalau Tuhan pasti ngasih balasan yang berlipat. Nggak ada yang sia-sia.

Memang kadang tersiksa dengan harapan orang yang minta digambar gratisan itu. Isuk awan bengi ditagih. Gratisan tapi dikongkon cepet, setelah jadi minta revisi. Swemprul. Tapi gak popo, namanya juga nggak paham. Ayat soal profesi belum sampai ke dia. Babah wis, jarno.

****
Kalau kita berkunjung ke Panti Jompo atau Rumah Sakit di bangsal khusus pasien jompo. Kita akan menjumpai Parade Wong Legrek. Sekumpulan manusia usia senja yang nggak berdaya. Dulu berbibir seksi, sekarang ndoweh plus ngileran. Dulu rambut lebat berkilau sekarang full uban, botak, krowak di sana sini, tumo pun menghampiri.

Saat muda membanggakan tatto ular naga, pas wis tuwek dadi uler keket. Nggak perduli kamu buruh pabrik, tentara, cover boy, atau apa pun, kalau sudah tua pendengaran jadi berkurang, ngomong nggak jelas, pikun melanda, ndlahom total. Tubuh kurus tinggal tulang sama riyak. Saat batuk, untune katut metu. Gak iso ngaceng pisan. Perfect! mbuwak byuk.

Kadang beruntung orang yang mati muda, karena kalau tidak, dia pasti akan sampai di masa tua. Masa dimana kegagahan lenyap, kecantikan menyublim, ketegasan menghilang, keperkasaan memudar. Dulu wajahnya kiyut abis, tapi saat tua mirip Orangutan --> kantung mata melorot akut, bibir ndower, rambut jambul cuman 12 helai, wetenge mblendung, kulit kasar bersisik.

Saat tua nanti, orang kembali jadi bayi--> pakai pampers, kencing plus pup di celana. Tiap hari kecirit, celananya lengket. Meludahpun nggak ada tenaga. Maunya meludah, tapi yang terjadi malah ngiler. Cwape dwech.

Begitulah sodara sebangsa dan setanah air. Tua itu pasti, siap menghadapi itu pilihan. Mulai persiapkan dari sekarang, pola hidup sehat. Tanyakan pada dokter atau instruktur senammu, aku gak eruh.

Saya tidak sedang menakut-nakuti anda semua, tapi itulah kenyataannya. Makanya sebelum jadi tua dan tidak berguna, sebisa mungkin jadilah orang yang berarti. Sering-seringlah berbagi. Warnai dunia. Berkarya jangan nunggu orderan dan lomba. Atau kalau bisa, berbuat sesuatu bukan karena eksistensi, pokoknya berbuat baik saja (ini level tingkat tinggi yang bisa begini).

Ingat pepatah klasik : Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Perbuatann baik maupun buruk seseorang akan tetap dikenang meskipun seseorang telah tiada.

Banyak orang paham nikmat dan indahnya berbagi saat sudah jompo. Ketika tubuh mulai legrek, disenggol pundake jantunge rontok. Ketika materi sudah tidak berarti lagi. Karena kekayaannya tidak akan pernah mengembalikan masa mudanya, tidak bisa membeli kebahagiaannya yang dulu. Tobat kebanyakan telat, janji nggak akan main wanita lagi, tapi itu diucapkan saat usia sudah 80 tahun. Wadoh.

Jangan andalkan kegagahan dan kecantikanmu untuk menyombongkan diri. Semua itu nggak bisa diandalkan. Puncak kegagahan/kecantikan manusia itu saat umur 35 tahunan. Setelah melewati umur itu, mata mulai buram, pakai kaca mata minus (atau plus) bergaya Ebiet G, Ade atau Betty La Fea.

Jangan berharap banyak pada operasi plastik. Operasi plastik hanya menunda sebentar. Itu juga sangat berisiko. Nggak sekali aku lihat seorang bencong yang mengamen di Trafic Light, suntikan solikin di hidung atau dagunya malah membuat wajahnya jadi kayak celengan Bagong.

Wis rek, tulisane tambah suwe tambah mulek koyok entut. Ojok percoyo tulisan iki. Ini untuk menghibur dan menyemangati diri saya sendiri.


-Robbi Gandamana-

Minggu, 24 September 2017

Paluaritphobia adalah Produk Doktrin Orba




Komunisme, sebuah ideologi yang membuat bangsa ini phobia. Orde Baru keparat yang telah berhasil menjenjali jiwa-jiwa labil dengan kisah horor PKI yang dilebih-lebihkan. Akibatnya tega membantai orang yang diduga simpatisan PKI, hanya karena ikutan jadi anggota organisasi yang berafiliasi ke PKI, tanpa pernah membunuh siapa pun. Apes.

Sampai sekarang orang begitu berhati-hati jangan sampai ketahuan kalau dia komunis. Saat nonton film G30S PKI di depan pacarnya mengutuk PKI, "Komunis keparat!" Eh, ndilalah si pacar nyeletuk, "Aku lebih suka komunisme daripada kapitalisme, mas." Si pria langsung meraih jemari si pacar, "Kalau begitu kita sama dik.."

Sebenarnya komunisme datang untuk membendung Kapitalisme yang menindas kaum buruh. Nggak heran kalau petinggi PKI dulu ada beberapa yang lulusan pesantren, bahkan anak Kyai. Mereka berjuang membela kaum cilik atau Proletar. Tapi karena fanatisme buta, mereka menghalalkan pembunuhan bagi siapa saja yang menghalangi perjuangan.

Seandainya PKI tidak melakukan makar atau pemberontakan, bisa jadi partai ini tidak terlarang dan eksis sampai sekarang. PKI adalah kambing hitam yang tepat buat Soeharto untuk mengahancurkan musuh-musuhnya dan mengambil alih kekuasaan, melengserkan Soekarno dan mengibarkan bendera Orba, Orde Bajingan.

Semua ideologi bisa kejam apabila dijadikan sebuah gerakan makar. Mau PKI, DI/TII, atau gerakan yang lain, sama saja, mereka pasti membunuh jika dihalangi. Bahkan ISIS yang katanya membela Islam itu tega membunuh wanita dan anak-anak. Jihad membela Islam tapi kok hobinya gonta-ganti istri, kenta-kentu ae. Islam cap opo iku.

Komunis bukan berarti ateis, dan ateis tidak berarti komunis. Komunis itu percaya Tuhan, tapi ideologinya bertabrakan dengan ajaran agama. Menginginkan semuanya sama rata. Nggak ada kepemilikan pribadi, semua milik bersama. Itu nggak Sunnatulloh, melawan hukum alam.

Nggak ada kehidupan di mana semua penghuninya kaya. Itu utopia namanya. Pastilah ada yang kere. Jika ada pemenang pasti ada pecundang. Some born to win, some born to lose. itu alamiah. Jika melawan kodrat alam, kehidupan bakal kacau.

Jadi komunisme itu isapan jempol. Tetap Pancasila is the best. Dan nggak usah khilafah, Pancasila sudah khilafah. Sila yang lima itu sudah Islam banget. Sila-sila di dalam Pancasila itu sumbernya dari Al Qur'an juga.

Tapi orang tidak berhak melarang orang lain menjadi komunis. Selama itu jadi pemahaman pribadi, monggo saja. Mau ateis, komunis, mbois, itu urusan pribadinya dengan Tuhannya. Yang dilarang itu mendirikan partai politik yang berideologi komunis.

Jika kamu punya band, silakan saja pakai sistem komunis, dimana semua hasil jerih payah selama ngeband adalah milik bersama. Asal tidak istri jadi milik bersama. Komunisme hanya bisa diterapkan di lingkup kecil. Dan komunis bukan berarti PKI. Komunis itu sebuah ideologi, sedangkan PKI itu partai politik yang berideologi komunis.

Sudah nggak zaman komunisme dijadikan ideologi bangsa. Ndeso. Kalau ada yang paranoid dengan kebangkitan PKI (paluaritphobia) itu pasti orang jadul yang sudah kena doktrin Soeharto. Atau anak alay yang baru kenal agama salah berguru pada Ustadz modal terjemahan Depag.

Isu komunis dihembuskan untuk menggoyang pemerintah, agar citra pemerintah buruk di mata rakyatnya. Apalagi menjelang Pemilu 2019. Dipastikan itu adalah kerjaan lawan politik Jokowi. Itulah politik, mencitrakan dirinya baik dengan memperburuk citra orang lain. Terlihat benar dengan cara menyalahkan orang. Wis tau.

Paham khan? Dibaca sekali lagi.

-Robbi Gandamana-